Sjamsul Nursalim dan Istri Jadi Tersangka Dugaan Korupsi BLBI

Sjamsul Nursalim dan Istri Jadi Tersangka Dugaan Korupsi BLBI

JAKARTA- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dua tersangka baru dalam dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Mereka adalah pengusaha Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengungkapkan bahwa lembaganya sudah mengantongi bukti permulaan yang cukup untuk memulai penyidikan. BLBI merupakan salah satu kasus besar yang ditangani oleh KPK. Dijelaskan Saut, Sjamsul dan Itjih diuntungkan atas tindakan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafrudin Temenggung. Syafrudin sudah dinyatakan bersalah oleh pengadilan dalam kasus itu. Dia divonis 15 tahun penjara. “Memperkaya Sjamsul Nursalim sebesar Rp4,58 triliun,” ungkap Saut. Menindaklanjuti putusan Syafrudin, KPK lantas membuka penyelidikan baru. KPK pun berkali-kali memanggil Sjamsul maupun Itjih. Yakni 8 dan 9 Oktober 2018, 22 Oktobgver 2018, dan 28 Desember 2018. Namun, semua panggilan tersebut tidak diindahkan oleh keduanya. ”Sehingga KPK memandang telah berupaya memanggil dan memberikan kesempatan yang cukup,” jelasnya. Wakil Ketua KPK Laode M Syarif pun menjelaskan secara terperinci kontruksi kasus yang menjerat Sjamsul dan Itjih. Semuanya dimulai dari 21 September 1998, ketika Sjamsul dan BPPN menandatangani penyelesaian pengambilalihan pengelolaan Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) lewat Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA). Di antara MSAA tersebut, pejabat yang biasa dipanggil Syarif itu menjelaskan bahwa BPPN mengambil alih pengelolaan BDNI. “SJN (Sjamsul) sebagai pemegang saham pengendali sepenuhnya bertanggung jawab untuk menyelesaikan kewajibannya,\" terangnya Jumlah kewajiban yang harus diselesaikan oleh Sjamsul mencapai Rp47.258.000.000.000. Kewajiban itu lantas dikurangi Rp 18.850.000.000 dari aset. Termasuk di dalamnya aset berupa pinjaman kepada petani dan petambak dengan nilai Rp4,8 triliun. “Aset senilai Rp4,8 triliun itu diprsentasikan SJN seolah-olah sebagai piutang lancar dan tidak bermasalah,” jelasnya. Namun demikian, setelah dilakukan Financial Due Diligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet. “Sehingga dipandang terjadi misrepresntasi,” imbuhnya. Atas hasil FDD dan LDD itu, BPPN kemudian mengirimkan surat kepada Sjamsul untuk menambah aset. Namun, dia menolak permintaan tersebut. Selanjutnya pada Oktober 2003 dilaksanakan rapat antara BPPN dengan Sjamsul yang diwakili oleh isterinya bersama beberapa pihak lain. \"Pada rapat tersebut ITN (Itjih) menyampaikan bahwa Sjamsul tidak melakukan misrepresentasi,” masih kata Syarif. Lebih lanjut, diungkapkan Syarif, sempat dilaksakan rapat kabinet terbatas pada Februari 2004. BPPN melaporkan dan meminta presiden saat itu supaya sisa utang petani tambak dihapuskan. Namun, mereka tidak melaporkan kondisi misrepresentasi yang terjadi. Tidak ada keputusan dalam rapat tersebut. Namun, pada 12 April 2004 Sjamsul dan Itjih menandatangani akta perjanjian penyelesaian akhir. \"Yang pada pokoknya berisikan, pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajiban sesuai dengan yang diatur di MSAA,\" kata Syarif. Tanda tangan berlanjut sampai Syafrudin meneken surat pemenuhan kewajiban pemegang saham atas nama Sjamsul pada 26 April 2004. Empat hari kemudian, 30 April 2004, BPPN menyerahkan pertanggungjawaban aset kepada kementerian keuangan. Isinya hak tagih utang petambak PT DCD dan PT WM yang kemudian oleh Dirjen Anggaran Kementrian Keuangan diserahkan kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA). Karena itu, KPK menduga kerugian negara dalam kasus tersebut Rp4,58 triliun. Syarif berharap besar, Sjamsul maupun Itjih bersikap kooperatif dalam proses hukum yang menjerat mereka berdua. (riz/ful)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: