Ancaman Kebangkrutan Garmen, Disnakertrans Jabar Siapkan Task Force

Ancaman Kebangkrutan Garmen, Disnakertrans Jabar Siapkan Task Force

BANDUNG - Dinas Ketenagakerjaan dan Tramigrasi (Disnakertrans) Jawa Barat akan membentuk satuan tugas (task force) perburuhan untuk menangani berbagamasalah. i Task force ini akan menghimpun berbagai data perburuhan sebagai dasar pertimbangan dalam membuat kebijakan. Kepala Disnakertrans Jawa Barat, Muchamad Ade Afriandi mengatakan, task force ini akan berisi berbagai stakeholder peruburuhan di Jawa Barat seperti unsur buruh atau pekerja, pengusaha, dan pemerintah. Pernyataan Ade diungkapkan dalam diskusi tentang perburuhan dan garmen yang diselenggarakan di Pabrik Fotexco, Bogor, Senin ( 1/7). Ade mengatakan, berbagai persoalan perburuhan ke depan akan cukup kompleks sehingga harus disikapi bersama. Sebelumnya, kata Ade, persoalan buruh ini muncul dan menyisakan persoalan. Untuk itu, katanya, diharapkan task force ini memberi solusi bagi persoalan-persoalan yang terjadi selama ini. Ade berharap, dalam task force ini semua stakeholder perburuhan membawa data masing-masing dan menyampaikannya bersama-sama untuk mencari solusi berbagai persoalan perburuhan. Khusus untuk dunia garmen, kata Ade, persoalan buruh ini menjadi serius karena sektor ini merupakan industri padat karya. Banyak kasus, katanya, menyangkut tenaga kerja yang harus disikapi karena hal itu akan berdampak pada keberlangsungan industri garmen itu sendiri. Ade mensinyalir adanya pungutan di sekitar pabrik, saat adanya pegawai mau melamar pekerjaan. Pungutan dilakukan oknum ormas ataupun oknum yang mengaku orang kepala desa. “Kepala desa ini raja kecil. Khusus di daerah Bogor atau Bekasi, mereka menghabiskan sampai miliaran untuk pemilihan. Saat ada praktek seperti ini, bisa dipahami kenapa mereka melakukan seperti itu. Tapi ini harus diselesaikan solusinya,” kata Ade lagi. Sementara itu, perwakilan PT Fotexco, Phang Jan Mie mengatakan, upah yang tinggi membuat industri garmen berada di kondisi yang kritis. Di tahun 2019, pihaknya terpaksa meminta UMK khusus kepada Gubernur Jawa Barat bersama 32 perusahaan lainnya. Hal ini dimaksukan untuk mempertahankan order dari buyer internasional yang mengancam akan hengkang menarik investasinya jika tak membayar upah sesuai kententuan pemerintah. Kondisi ini, katanya, harus dipertahankan karena ada 2300 karyawan di perusahaannya yang hidupnya mengandalkan pendapatan dari indusri garmen tersebut. Ia tak mungkin melakukan relokasi pabrik ke daerah lain karena hal itu pun memerlukan waktu yang sangat besar. Katanya, untuk melakukan relokasi pabrik sangat berat dan memberlukan biaya yang besar. Tahapan birokrasi dan perizinan memerlukan biaya yang besar. “Sedikitnya ada 36 perizinan yang harus ditempuh. Selain itu, proses adaptasi karyawan dan perusahaan pun memerlukan waktu tiga bulan. Selama tiga bulan itu, tak menghasilkan apa karena kita terus melakukan pelatihan atau training. Selama itu pula kita belum mendapatkan order dari buyer karena belum siap,” katanya. (rls)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: