APBD Gate Tanggung Jawab Eksekutif

APBD Gate Tanggung Jawab Eksekutif

KEJAKSAN – Terdakwa APBD Gate 2004 semakin di atas angin. Saksi ahli tambahan I Gde Pantja Astawa mengatakan, kepala daerah menjadi pemegang kekuasaan umum dalam keuangan daerah. Itu jelas tertuang dalam pasal 2 PP 105 tahun 2000 tentang pertanggungjawaban keuangan daerah. Sepenuhnya menjadi tanggung jawab kepala daerah, artinya ditujukan untuk eksekutif, sama sekali berhubungan dengan DPRD. “PP ini ditujukan untuk eksekutif. Tidak ada tetek bengek urusan dengan dewan,” ujarnya, Kamis (30/9). Tinggal pertanyaannya, kata dia, siapa yang menjadi eksekutif di DPRD. Maka jawabannya adalah sekretriat DPRD. Maka dia yang melakukan proses pengadministrasian serta pengelolaan anggaran anggota DPRD, termasuk pertanggungjawabannya. Karen peng-SPJ-an itu menjadi tanggungjawab eksekutif. Termasuk satu-satunya yang berhak mengatakan ada kerugian keuangan daerah adalah kepala daerah. “Dewan itu bego semua soal administrasi. Apapun yang berkenaan dengan hak dewan, maka esekutif yang melakukan pengadministrasianny,” paparnya di persidangan APBD Gate 2004 yang majelisnya dipimpin Irdalinda SH MH. Guru besar hukum tata negara Unpad ini menjelaskan jika pun terjadi kesalahan maka sanksinya administratif, bukan sanksi pidana. Sesuai dengan yang ada di PP105 hnya mengakibatkan sepenuhnya sanksi administratif. Karena itu jangan ditafsirkan lain. “Saya sudah pelajari betul PP ini. Jangan dipahami lain,” tandasnya di hadapan terdakwa Achmad Djunaedi, Safari Wartoyo, Suyatno HA Saman, dan Jarot Adi Sutarto. Terkait dengan Surat Edaran 161/3211/SJ 2003 yang juga menjadi dasar dakwaan, Pantja berpendapat bahwa itu tidak lebih dari surat dan bukan norma. Sesungguhnya bukan hukum, tetapi diperlakukan seperti hukum, berlaku internal dn hanya sampai gubernur di provinsi, tidak turun sampai ke bupati walikota. Terlebih lagi, kata dia, Kepres 80 tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Itu sepenuhnya saat di DPRD berlaku hanya untuk sekretariat dewan, dimanapun, di seluruh Indonesia. “SE itu hanya sepucuk surat. Saya kadang berkelakar, SE itu surat edan. Karena SE bukan kaidah hukum,” jelasnya. Oleh karena itu, apabila hal yang sifatnya administratif ini kemudian dipaksakan menjadi pidana maka telah terjadi kriminalisasi. “PP itu sanksinya administratif. Hanya UU dan perda yang pidana, kita bicara asas legalitas. Karena itu semua harus clear. Jadi disaat seluruh proses sudah ditempuh sesuai mekanisme. So what? Sudah final,” ungkapnya. Untuk diketahui pensehat hukum terdakwa Wa Ode Nur Zainab menanyakan kedudukan PP 105 kepada Pantja Astawa karena dijadikan salahsatu dasar dakwaan kepada kliennya. (hen)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: