Omnibus Law Bermasalah

Omnibus Law Bermasalah

CIREBON – Sejumlah pihak mengkritisi rencana penerapan Omnibus Law yang terdiri atas dua undang-undang (UU) besar, yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Perpajakan. Oleh berbagai pihak, hal tersebut (Omnibus Law) dipandang berpotensi atau bisa melanggar prinsip hukum yang ada. Baik hukum tata negara dan lainnya. Tidak hanya itu, Omnibus Law bahkan dapat menarik kembali kewenangan daerah ke pusat.

Hal tersebut disampaikan tokoh muda Cirebon yang juga praktisi hukum Cirebon, Andri W Kusuma SH MH. Menurutnya,  kondisi tersebut akan berpotensi munculnya beberapa persoalan.

Pelanggaran paling mendasar adalah, pertama, UU dapat dicabut dan digantikan hanya dengan Peraturan Pemerintah (PP). Ini jelas melanggar UUD kita dan mengkebiri kewenangan DPR selaku legislator. Kedua, yang lebih parah, Perda dapat dicabut dan digantikan dengan Peraturan Presiden (RUU Cipta Lapangan Kerja Pasal 170 dan 166). Belum lagi peraturan-peraturan lain yang saling tumpang tindih.

Mantan politisi PAN yang kini memilih tidak berpartai tersebut menyebut, pemerintah perlu melakukan sosialisasi dan diskusi-diskusi dengan akademisi di kampus-kampus. Membedah poin per poin dari pasal-pasal yang ada dalam Omnibus Law sehingga tidak menimbulkan polemik.

“Saya pribadi belum paham betul apa tujuan dan maksud dari Omnibus Law ini. Tapi awalnya saya kira mungkin hampir sama dengan ide kodifikasi di rezim hukum perdata zaman belanda yang menghasilkan kitab undang-undang Hukum Perdata (BW). Saat ini di Belanda saja sudah sekian kali mengalami revisi,”imbuhnya.

Ditambahkan pria yang kini fokus pada kegiatan sosial tersebut, Omnibus Law bukan seperti yang dilakukan di kodifikasi hukum perdata. Kodifikasi lebih bertujuan untuk mempermudah masyarakat dan penegak hukum untuk mempelajari dan memahami hukum. Yang tadinya beberapa rezim hukum diatur dalam aturan sendiri-sendiri menjadi dibukukan. “Ini berbeda sekali dengan Omnibus Law,”jelasnya

Dia mencontohkan, dibukanya peluang tenaga kerja kasar asing (unskill labour) dapat bekerja di RI. Tentu ini melanggar prinsip bernegara, perlindungan terhadap warga negara, Philosophy UU ketenagakerjaan,  bahkan UUD.

Yang dapat diterima adalah, tenaga kerja terampil. Itu pun untuk posisi-posisi tertentu yang tenaga kerja di Indonesia belum dapat melakukannya. Jangka waktunya pun terbatas, misalnya hanya 2-3 tahun.

“Karena ada kewajiban untuk tenaga kerja asing yang terampil tersebut untuk melakukan transfer of knowledge or skills. Belum lagi terkait dengan masalah Lingkungan Hidup, Omnibus Law ini sepertinya jauh atau tidak pro terhadap perlindungan lingkungan hidup,” bebernya.

Jika Omnibus Law tersebut sudah terlanjur dibuat dan diserahkan ke DPR, agar kiranya DPR betul-betul mempelajari dan bahkan melakukan perbaikan yang mendasar. Libatkan akedemisi-akademisi dan praktisi-praktisi hukum serta organisasi masyarakat pemerhati hukum, serta stake holder lainnya yang kompeten secara masksimal agar DPR dapat secara jernih, substantif dan kualitatif dalam membahas Omnibus Law ini.

“Meski ada cara terakhir yang disediakan konstitusi kita, yaitu JR (Judicial Review) di Mahkamah Konstitusi, tapi menurut saya, jangan sampai ke JR karena akan mengundang partisipasi masyarakat secara meluas, tidak terukur bahkan tidak produktif yang ujungnya akan dapat menyebabkan tensi politik bergejolak kembali. Lebih bijak jika DPR membentuk Panja atau bahkan Pansus. Kalau belum diserahkan ke DPR, sebaiknya disarankan pemerintah segera memperbaiki kesalahan-kesalahan yang sangat mendasar atau fundamental tersebut,” katanya. (dri/rls/adv)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: