Pakai APD Lengkap, Lebih dari 4 Jam Bisa Dehidrasi

Pakai APD Lengkap, Lebih dari 4 Jam Bisa Dehidrasi

Dalam rapid test masal di sejumlah lokasi, Dinas Kesehatan Kota Cirebon sebetulnya mengalokasikan kuota yang cukup banyak. Namun, target seringkali tidak tercapai. Pelaksanaannya juga kurang efektif. Sementara petugas yang menggunakan alat pelindung diri (APD), tidak bisa berlama-lama.

AZIS MUHTAROM, Lemahwungkuk

PELAKSANAAN rapid test belakangan kerap mendapatkan penolakan warga. Tak jarang pula gagal memenuhi kuota yang disediakan. Penyebabnya macam-macam. Mulai ketakutan, hingga kengganan mengikuti tes cepat.

Kemarin misalnya, di setiap pasar, diberikan kuota masing-masing 100. Namun gagal dilaksanakan di Pasar Jagasatru. Sedangkan, di lingkungan RW Pesisir yang diberi kuota 200, tapi tak sampai 50 persen kuta terpakai.

Kepala Sub Bagian Tata Usaha Puskesmas Pesisir, Moly Umaeri mengatakan, pihaknya sebetulnya sudah mempersiapkan rapid test gelombang kedua di wilayah pesisir ini sejak jauh-jauh hari. Kemudian sudah dilaksanakan sosialisasi.

Sayangnya, warga yang datang cukup minim. Bahkan, lurah serta RW dan RT hingga kader-kader Posyandu sampai harus mendatangi door to door dan membujuk agar mereka ikut tes.

“Kalau kondisinya seperti ini kan sayang, bukan cuma rapid test-nya, petugas medis yang pakai APD juga jadinya nggak efektif,” kata Moly, kepada Radar Cirebon.

Disampaikan dia, petugas rapid test memang menggunakan hazmat, face shield, masker, dan perangkat lainnya. Dengan model pakaian seperti itu, mereka hanya kuat 3-4 jam saja. Apalagi tes dilakukan di tengah cuaca seperti sekarang ini. Dikhawatirkan, lebih dari 4 jam mereka bisa dehidrasi. “Kalau sudah pakai hazmat tidak bisa makan dan minum. Nggak boleh lepas masker, kacamata, dan face shield,” ungkapnya.

Alasan minimnya peserta rapid test memang ada macam-macam penyebabnya. Ada yang memang ketakukan. Ada juga yang terpamakan hoax. Misalnya informasi keliru mengenai petugas medis pemeriksanya tidak ganti-ganti sarung tangan. Dan dikhawatirkan menular dari peserta lain yang reaktif. Padahal, petugas medis sudah punya SOP dengan standar yang tingi dalam melakukan pengujian.

Kenudian, ada pula hoax yang beredar sehingga menjadikan warga yang reaktif mendapat stigma negatif dari lingkungannya. Padahal, warga yang rapid test-nya dinyatakan reaktif, belum tentu positif. Dibuktikan dengan proses swab test yang dijalani mereka, justru hasilnya negatif.

Lurah Panjunan, Didi Cardi menambahkan, dalam rapid test masal gelombang kedua sebetulnya sudah disiapkan kurang lebih satu minggu. Bersama pihak Puskesmas, RW, RT, dan tokoh masyarakat setempat telah dikordinasikan agar banyak warga yang berpartisipasi untuk memastikan kondisi kesehatannya.

“Iya padahal, ini sudah disiapkan dari satu minggu yang lalu. Tapi, malah hasilnya lebih sedikit. Justru yang gelombang pertama itu dilakukan mendadak, tapi warga yang hadir dan ikutnya lebih banyak. Mungkin karena hoax-hoax yang beredar itu tadi. Tapi sudah diberi pemahaman sebetulnya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: