71 Hari Kampanye Pilkada Serentak 2020 Paling Rawan

71 Hari Kampanye Pilkada Serentak 2020 Paling Rawan

JAKARTA – Tahapan pendaftaran Pilkada Serentak 2020 sudah dimulai. Ada sejumlah kerawanan yang dapat terjadi. Terutama sejak pendaftaran pasangan calon (Paslon) hingga 71 hari masa kampanye.

“Ada beberapa tahapan yang rawan dan berpotensi konflik selama pandemi COVID-19. Terutama konflik anarkis. Jadi yang harus diwaspadai dua hal. Yaitu aksi anarkis dan penularan COVID,” tegas Mendagri Tito Karnavian melalui kanal YouTube Kemendagri, di Jakarta, Jumat (4/9).

Potensi kerawanan awalnya muncul saat tahapan pembentukan panitia penyelenggaraan Pilkada 2020 pada 15 Juni 2020 lalu. Kemudian potensi kritis lainnya juga ditemukan pada saat verifikasi aktual pada 24 Juni hingga 12 Juli 2020. Selanjutnya, verifikasi data pemilih pada 15 Juli-13 Agustus 2020.

Dari tahapan yang digelar KPU dan Bawaslu tersebut, Kemendagri tidak mendengar ada kasus penularan. Selanjutnya tahapan juga rawan adalah masa pendaftaran paslon. Mulai 4-6 September 2020.

“Saat inilah banyak terjadi interaksi massa. Seperti arak-arakan hingga konvoi. Ini yang perlu diwaspadai aparat. PKPU jelaskan secara tegas tidak boleh ada arak-arakan dan konvoi, dan jumlah terbatas saat pendaftaran di KPUD masing-masing,” papar mantan Kapolri ini.

Kerawanan anarkisme yang perlu diwaspadai adalah pada 23 September 2020 mendatang. Yakni tahap pengumuman paslon. Sedangkan tahap yang paling rawan, adalah 71 hari masa kampanye. Pengumuman paslon ketika diverifikasi paling lambat 23 September 2020. “Tentu, ini sama ada yang puas dan tidak puas. Cegah agar tidak terjadi konflik. Dorong melalui mekanisme hukum. Bisa gugatan, atau sengketa di PTUN,” imbuhnya.

Pada 26 September hingga 5 Desember 2020 (71 hari kampanye, Red), juga menjadi sorotan Tito. Sebab, pada pilkada kali ini aturannya berbeda. “Kita harus sama dan satu pikiran. Ini adalah pilkada pertama yang belum pernah terjadi dalam sejarah bangsa Indonesia di tengah krisis darurat kesehatan,” tuturnya.

Karena itu, Tito meminta aparat tetap tegas. Namun, proporsional dalam mengawal Pilkada 2020. “Pilkada harus terlaksana secara demokratis dan lancar, aman dari konflik. Yang terpenting pilkada ini jangan sampai menjadi media penularan COVID-19,” terangnya.

Mantan Kapolda Metro Jaya ini meminta agar tidak perlu ada tindakan-tindakan yang berlebihan dari aparat. Khususnya Satpol PP selama penerapan aturan protokol kesehatan di masa Pilkada.

“Kalau berlebihan itu excessive use of force. Itu tidak akan mengundang simpati, justru kontraproduktif. Tetapi jangan juga tidak bertindak atau tidak melakukan tindakan proporsional. Misalnya sudah jelas ada rame-rame tanpa pakai masker terus didiamkan. Sesuaikan dengan aturan daerah masing-masing,” ucapnya.

Tito juga berharap Bawaslu bisa tegas menegakkan peraturan KPU terkait Pilkada 2020. Dia meminta Bawaslu juga bekerja sama dengan aparat kepolisian dan kejaksaan untuk menegakkan aturan tersebut.

“Jangan segan tegakkan aturan PKPU ini. Sehingga konsistensi itu bisa berikan efek jera. Bila perlu sampaikan ke media. Konteks penegakan hukum ini. Bawaslu ada unsur kepolisian dan kejaksaaan. Bawaslu rapatkan barisan dengan jajaran kepolisian dan kejaksaan. Tolong sampaikan ini ke jajaran agar dapat dipahami,” terangnya.

Terkait debat paslon, Tito menyampaikan salah satu strateginya mengedepankan isu sentral terkait penanganan COVID-19. Selain itu, Tito juga meminta agar Peraturan KPU juga mencakup aturan terkait pembatasan kerumunan massa.

Dia menekankan agar masker, hand-sanitizer hingga sarung tangan agar bisa dijadikan alat peraga kampanye. “Kami usulkan untuk dimasukan dalam alat peraga. Sehingga akan terjadi pembagian masker yang banyak. Nanti, masker bisa dituliskan nama paslon, gambar paslon, atau pilih nomor sekian,” lanjutnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: