HANOI - Pemerintah Vietnam menyebut, latihan militer Tiongkok di Laut China Selatan (LCS) minggu ini, dapat mengancam rangkaian perundingan tata perilaku (COC) di perairan sengketa tersebut.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Vietnam, Le Thi Thu Hang mengatakan saat jumpa pers, bahwa latihan militer itu akan membuat upaya memulai kembali perundingan mengenai LCS antara Tiongkok dan Perhimpunan Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara (ASEAN) terhambat.
Tiongkok pada Senin (28/9) mulai menggelar lima latihan militer berturut-turut di beberapa bagian pesisirnya, dua di antaranya berlangsung di perairan Kepulauan Paracel, yang juga diklaim oleh Vietnam.
“Prioritas Tiongkok dan ASEAN melanjutkan kembali perundingan mengenai kode etik dan perilaku (COC) yang lama tertunda akibat pandemi,” kata Hang, Kamis (1/10). Ia menambahkan, Vietnam mengedepankan tujuan itu dan ingin segera menyelesaikan COC secara efektif dan komprehensif serta sejalan dengan aturan hukum internasional. Tiongkok dalam beberapa bulan terakhir meningkatkan kehadirannya dan menggelar rangkaian latihan militer di Laut China Selatan, pada saat negara-negara di Asia Tenggara berjuang melawan pandemi.
Tiongkok dan beberapa negara anggota ASEAN terlibat sengketa kepemilikan perairan LCS selama bertahun-tahun. Pemerintah Amerika Serikat menuduh Tiongkok merundung negara-negara tetangganya itu.
Namun, Beijing balas menuding Washington dan sekutu-sekutunya di Barat telah mengintervensi politik kawasan serta membahayakan keamanan di Laut Tiongkok Selatan, karena AS mengirim kapal-kapal angkatan lautnya.
Vietnam pada Agustus 2020 mengatakan adanya sejumlah alat peluncur bom milik Tiongkok di Kepulauan Paracel telah “mengancam perdamaian”. Hang pada Kamis mengatakan Vietnam meminta Tiongkok menghormati kedaulatan negaranya dan tidak lagi menggelar latihan militer di perairan Kepulauan Paracel. Selama hampir 20 tahun, penetapan COC di Laut China Selatan menjadi prioritas ASEAN dan Tiongkok. Namun, sejumlah ahli mempertanyakan komitmen Tiongkok untuk menetapkan hasil perundingan itu. Para pengamat juga ragu hasil perundingan itu nantinya dapat memiliki kekuatan hukum. (ant/dil/jpnn)