JAKARTA-Ketua KPU Arief Budiman terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) resmi menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir dan pemberhentian dari jabatan ketua.
Ketua DKPP Muhammad yang memimpin jalannya sidang menegaskan, pemberhentian dari jabatan Ketua KPU RI kepada teradu Arief Budiman sejak putusan ini dibacakan. Majelis mengungkapkan Arief Budiman diadukan ke DKPP karena mendampingi dan menemani Evi Novida Ginting Manik.
Diketahui, Evi telah diberhentikan DKPP pada 18 Maret 2020. Kemudian mendaftarkan gugatan ke PTUN Jakarta. Dalam persidangan, Arief Budiman berdalih kehadiran dirinya di PTUN Jakarta untuk memberikan dukungan moril, simpati, dan empati didasarkan pada rasa kemanusiaan.
Kehadiran Arief dalam kapasitasnya sebagai individu, bukan mewakili lembaga. Di saat yang bersamaan, Teradu berstatus work from home (WFH).
Terpisah, Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, jika dirinya belum menerima putusan hardcopy. Ia juga memastikan jika dirinya tidak pernah melakukan pelanggaran dan menciderai integritas pemilu. \"Kalau softfile kan bisa dilihat. Tapi secara resmi biasanya kita dikirimi hardcopy,\" katanya.
Selanjutnya, Arief juga mengatakan belum menyatakan sikap atas putusan tersebut. Dirinya akan mempelajari putusan tersebut telebih dahulu. “Kita pelajari nanti bersikap mau ngapain. untuk lebih lengkap bisa hubungi bu Evi. Mas Pram juga menyatakan discenting opinion terhadap putusan itu,” jelasnya.
Anggota Majelis Didik Supriyanto saat membacakan pertimbangan menjelaskan bahwa DKPP sangat memahami ikatan emosional teradu dengan Evi Novida Ginting Manik. Yang merintis karir sebagai penyelenggara pemilu dari bawah hingga menjadi komisioner di KPU RI untuk periode 2017-2022.
Namun, ikatan emosional sepatutnya tidak menutup atau mematikan sense of ethic dalam melakoni aktivitas individual yang bersifat pribadi. Hal itu karena dalam diri teradu merangkap jabatan ketua merangkap Anggota KPU yang tidak memiliki ikatan emosional dengan siapapun. Kecuali dalam ketentuan hukum dan etika jabatan sebagai penyelenggara pemilu.
“Seharusnya teradu dapat menempatkan diri pada waktu dan tempat yang tepat di ruang publik. Dan tidak terjebak dalam tindakan yang bersifat personal dan emosional yang menyeret lembaga. Dan berimplikasi pada kesan pembangkangan dan tidak menghormati putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat,” ujar Didik, Rabu (13/1).
Selain itu, kehadiran teradu di ruang publik mendampingi Evi Novida Ginting Manik dalam memperjuangkan hak-haknya membuat KPU RI terkesan menjadi pendukung utama dalam melakukan perlawanan terhadap putusan DKPP.
Sikap dan tindakan teradu menunjukan tidak adanya penghormatan terhadap tugas dan wewenang antar institusi penyelenggara pemilu. Didik menambahkan, teradu menunjukkan tindakan penyalahgunaan wewenang secara tidak langsung.
Teradu juga tanpa dasar hukum meminta Evi Novida Ginting Manik kembali aktif melaksanakan tugasnya sebagai Anggota KPU RI.
“Tindakan teradu merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang. Baik dalam kategori melampaui kewenangan di luar ketentuan hukum. Baik kategori mencampuradukan kewenangan di luar materi kewenangan,” sambung Didik.
Di tempat sama, Anggota DKPP Ida Budhiati menambahkan, teradu sama sekali tidak memiliki dasar hukum maupun etik memerintahkan Evi Novida Ginting Manik aktif kembali sebagai Anggota KPU RI. Menurut hukum dan etika Evi Novida Ginting tidak lagi memenuhi syarat sebagai penyelenggara pemilu setelah diberhentikan berdasarkan Putusan DKPP.
Bahwa pengaktifan kembali menurut teradu dibuat atas dasar keputusan bersama secara collective collegial. Tetapi pernyataan tersebut tidak didukung dengan alat bukti yang cukup berupa dokumen Berita Acara Rapat Pleno atau alat bukti lainnya.