JAKARTA – Sebagai negara yang berada di wilayah tropis, Asia dikenal kaya akan keanekaragaman hayati. Secara tidak langsung, kawasan Asia juga menjadi rumah bagi kumpulan besar patogen dalam meningkatkan kemungkinan munculnya virus baru.
Kabar terbaru saat ini, wilayah Asia tengah diintai oleh virus baru bernama Nipah. Virus yang berasal dari kelelawar ini tak kalah mematikan dari Corona (Covid-19), yakni 75 persen dan sejauh ini belum ada vaksinnya.
Sejauh ini, sebagian ilmuwan bekerja keras untuk memastikan Nipah tidak akan menjadi pandemi berikutnya. Ahli virus dari Pusat Ilmu Kesehatan Penyakit Menular Palang Merah Thailand Supaporn Wacharapluesadee termasuk salah satunya.
“Angka kematian akibat Nipah berkisar antara hingga 75 persen, bergantung di mana wabah itu terjadi,” kata Wacharapluesadee seperti dikutip dari BBC, Rabu (27/1/2021).
Sejak 10 tahun terakhir dia menjadi bagian dari Predict, yakni upaya internasional untuk mendeteksi dan menghentikan penyakit yang dapat berpindah dari hewan ke manusia. bertambahnya populasi juga menjadi dampak pada peningkatan kontak antara manusia dan hewan liar yang meningkatkan risiko.
Dia dan timnya telah mengambil sampel banyak spesies, namun fokus utama mereka adalah kelelawar, yang juga diketahui menyimpan banyak virus corona.
Selama kariernya mengambil sampel ribuan kelelawar, Wacharapluesadee dan timnya menemukan banyak virus baru. Mereka kebanyakan menemukan corona, namun juga penyakit mematikan lain yang dapat menular ke manusia, termasuk Nipah di mana kelelawar pemakan buah menjadi inang alaminya.
“Ini menjadi perhatian utama karena tidak ada pengobatan dan tingkat kematian yang tinggi disebabkan virus ini,” ujarnya.
Dalam penelitiannya, Wacharapluesadee tidak sendirian, setiap tahun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meninjau daftar patogen yang berpotensi menyebabkan keadaan darurat kesehatan masyarakat. Tujuannya untuk memutuskan prioritas dana bagi penelitian dan pengembangan.
Tentu saja ilmuwan fokus pada patogen yang berisiko besar mengancam kesehatan manusia, memiliki potensi epidemi, dan belum ada vaksinnya. Virus Nipah masuk dalam 10 besar daftar itu dengan sejumlah wabah sudah terjadi di Asia.
Ada beberapa alasan mengapa virus Nipah menyeramkan. Masa inkubasi penyakit yang ditimbulkan sangat lama, dalam satu kasus bisa mencapai 45 hari. Ini berarti ada banyak kesempatan bagi orang yang terpapar untuk menularkan ke yang lain. Bahkan mereka tidak sadar sedang terinfeksi.
Selain itu virus ini juga bisa menginfeksi berbagai macam hewan membuat kemungkinan penyebarannya semakin besar. Penularan bisa melalui kontak langsung atau dari makanan yang terkontaminasi.
Orang yang terinfeksi virus Nipah bisa mengalami gejala pernapasan, seperti batuk, sakit tenggorokan, kelelahan, dan ensefalitis atau pembengkakan otak yang dapat menyebabkan kejang dan kematian.
Ini merupakan penyakit yang sedang dicegah oleh WHO agar tidak menyebar sebagaimana corona. Menghindari kelelawar mungkin cara sederhana untuk terlepas dari potensi paparan.
Namun seiring bertambahnya populasi, manusia mengubah kondisi dengan menghancurkan habitat satwa liar. Semakin banyak kawasan yang dirambah, potensi kontak dengan hewan liar yang membawa virus juga tinggi.
“Penyebaran patogen (zoonosis) ini dan risiko penularan dipercepat denga perubahan penggunaan lahan seperti penggundulan hutan, urbanisasi, dan intensifikasi pertanian,” kata Rebekah J White dan Orly Razgour, dalam ulasan University of Exeter 2020 tentang penyakit zoonosis. (der/fin)