PERUBAHAAN skema subsidi gas LPG (Liquified Petroleum Gases) kemasan 3 kilogram (Kg) menjadi subsidi tunai, tidak bisa dilakukan tergesa-gesa. Sebab, hal itu akan mempengaruhi kondisi perekonomian secara luas.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI), Ferdinand Hutahaean kepada Fajar Indonesia Network (FIN), saat dihubungi pada Kamis (8/4).
Ferdinand mengatakan, kajian yang komprehensif terkait dampak ekonomi akibat perubahan skema subsidi menjadi hal yang penting, tak hanya agar subsidi tepat sasaran saja, melainkan juga agar perubahan pola subsidi itu tidak malah menjadi beban bagi masyarakat miskin.
“Upaya dari mengalihkan subsidi barang ke subsidi langsung ke orang itu adalah sesuatu yang baik dan benar. Tetapi jangan mekanismenya nanti malah jadi mengganggu perekonomian di lapangan. Saya menduga akan ada pengaruh, karena subsidi langsung ke orang ini pertahun berapa sih? berapa sih subsidi LPG yang dinikmati satu orang kalau itu diberikan dalam bentuk tunai, pengaruhnya apa dalam hidup dia, itu perlu dikaji,” ujar Ferdinand.
Ia mencontohkan, harga gas LPG normal sebelum disubsidi dengan setelah di subsidi itu tentu ada perbedaannya. Gap atau jarak antara harga LPG subsidi dengan LPG non subsidi itulah yang akan dinikmati masyarakat miskin, ketika pola subsidi dikucurkan dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Ferdinand menyebut, misalnya setiap orang mendapat subsidi 1 tabung per bulan, dimana selisih harga normal dengan harga subsidi Rp10.000/tabung, maka dalam satu tahun tiap orang hanya akan mendapatkan BLT senilai Rp120 ribu saja.
“Kalau dia dapat subsidi Rp120 ribu saja (setahun), dampak ekonominya terhadap ekonominya dia apa, dibanding dengan pemerintah mensubsidi barang. Jangan sampai dia dapat uang Rp120 ribu, tetapi tambahan beban hidupnya akan meningkat karena ini akan mengerek harga barang-barang lain akibat dampak dari kenaikan harga jual LPG. Ini harus dilihat dampak ekonominya seperti apa, lebih meringankan yang mana, itu yang harus dipilih,” tegasnya.
Maka itu, Ferdinand menegaskan Kembali bahwa sebaiknya pemerintah tidak terburu-buru memutuskan perubahan skema subsidi LPG tersebut, melainkan betul-betul dilihat terlebih dahulu dampak ekonomi dari kebijakan itu di lapangan.
“Jadi menurut saya, dikaji dulu lebih dalam bagaimana dampak ekonominya. Tetapi yang jelas bahwa, pertama pendapat saya, subsidi langsung ke orang itu bagus, sepanjang memang bahwa orang yang menerimanya tepat dan kedua adalah benar dampak ekonominya terasa,” pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, pemerintah berencana mengubah subsidi LPG kemasan 3 kg dan minyak tanah menjadi subsidi berbasis orang dalam program perlindungan sosial atau bantuan nontunai.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu mengatakan, jika disetujui, bantuan nontunai ini mulai diberlakukan pada tahun 2022. Nantinya, penerima akan disesuaikan dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) milik Kementerian Sosial (Kemensos) yang diperbarui.
“Transformasi ini mulai terjadi di tahun 2022. Dilakukan dengan perbaikan sistem DTKS, ini dilakukan dengan kerja sama pemerintah daerah dalam rangka updating, verifikasi, dan validasi data, sehingga datanya semakin reliable dan akurat,” kata Febrio dalam RDP dengan Badan Anggaran DPR-RI, Rabu (7/4) kemarin.
Febrio menuturkan, pergantian skema subsidi dilakukan agar lebih tepat sasaran, sebab saat ini pemberian subsidi LPG maupun subsidi lainnya tidak tepat sasaran karena ketidakakuratan data.
Dia mengungkap, hanya 36 persen saja dari total subsidi LPG 3 Kg yang dinikmati oleh 40 persen masyarakat termiskin. Di sisi lain, 40 persen orang terkaya justru menikmati 39,5 persen dari total subsidi. (git/fin)