Krisis Moneter 1998 Bisa Terulang

Jumat 23-08-2013,09:30 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

JAKARTA - Perekonomian Indonesia nampaknya tak lagi dapat menghindar dari tekanan krisis ekonomi global. Asian Development Bank (ADB) bahkan tidak memungkiri jika krisis moneter yang terjadi pada akhir era 1990-an silam dapat kembali lagi terjadi di tanah air untuk kali ini. Lantaran itu, ADB mendesak pemerintah untuk dapat mengambil langkah kebijakan yang tepat guna menanggulangi risiko krisis. \"Kalau Pemerintah tidak mengambil kebijakan yang hati-hati, bisa saja krisis (moneter, red) pada 1998 terulang. Dan kebijakan ini pun bermacam-macam bentuknya, yang tujuannya untuk menghindari krisis,\" ungkap Head Office of Regional Economic Integration/OREI ADB Iwan Jaya Azis, di Bursa Efek Indonesia, kemarin (22/8). Apalagi, Iwan menyatakan, indikasi krisis moneter yang salah satunya dimulai dari pelemahan nilai tukar terhadap dollar AS sebetulnya tak hanya terjadi pada rupiah saja. Namun nilai tukar mata uang berbagai negara di Asia Pasifik lainnya seperti Rupee India dan Baht Thailand juga melemah. \"Dampak (resesi, red) ini tidak bisa dihindari. Kondisi dunia saat ini semakin terkait. Sehingga jika satu (Negara, red) sakit, ya negara lain kena semua,\" tuturnya. Tak hanya itu, menurut Iwan, salah satu penentu dapat bertahan atau tidaknya Indonesia saat ini, bergantung pada kesiapan pemerintah untuk menghadapi masalah hengkangnya duit asing hasil stimulus moneter Bank Sentral AS, atau The Federal Reserve yang dipimpin oleh Ben Bernanke itu. Iwan menerangkan, Asia kini sangat tergantung kepada Amerika Serikat, apakah mampu membalik kebijakan untuk mengurangi atau tidak dana pembelian asset keuangan besar-besaran (quantitative easing) sebesar USD 85 miliar per bulan tersebut. “The Fed sebetulnya masih bingung. Karena hal ini merupakan sesuatu yang belum pernah terjadi, dan mereka (AS) coba-coba. Kalau mereka akan menarik dengan asumsi ekonomi pulih, sebetulnya belum pulih. Amerika belum mencapai tingkat pengangguran di bawah enam persen dan inflasi dua persen,\" terangnya. Melihat kondisi perekonomian yang sangat krusial tersebut, ADB pun langsung mengadakan pertemuan dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, Otoritas Bursa, serta Self Regulatory Organizations (SROs) Pasar Modal. Pertemuan tersebut diperuntukkan menginventarisasi dan menganalisa masukan berbagai pemangku kepentingan di industri keuangan, untuk penyusunan kebijakan oleh otoritas. \"Bangkrutnya Lehman Brothers tidak hanya menyebabkan krisis keuangan global, namun juga mengubah kebijakan di sektor jasa keuangan. Ini lantaran dampak dan penularan (spillovers) di sektor keuangan terutama di negara berpendapatan menengah (emerging economies),\" ungkap Direktur Komunikasi dan Hubungan Internasional OJK Gonthor R Azis di tempat yang sama. Gonthor mengakui, dampak spillovers tersebut sangat dirasakan oleh sektor keuangan di Indonesia. \"Risiko ketidakstabilan sektor jasa keuangan membesar. Jadi kami perlu mengambil pilihan kebijakan supaya dapat mengatasi hal tersebut, agar tidak berkembang menjadi makin kompleks dan sulit,\" paparnya. Ekonom Standard Chartered Fauzi Ichsan menambahkan, kondisi perekonomian saat ini juga mendekati krisis 2008 silam. Ia menyebut Indonesia saat ini masuk masuk dalam fase krisis kecil. \"Setiap negara akan mengalami krisis kecil maupun krisis besar. Yang penting adalah seberapa efektifnya reaksi Pemerintah, OJK, dan BI untuk meredam gejala tersebut, sehingga krisis bisa dihindari. Bisa saja akan menuju krisis kecil jika tidak diredam,\" terangnya. Fauzi Ichsan mengatakan, salah satu solusi agar mata uang rupiah kembali stabil adalah dengan kembali menaikkan tingkat suku bunga. Selain itu, alternatif mengurangi defisit bunga APBN juga perlu dilakukan agar bisa menekan angka pelemahan rupiah. \"Solusinya harus menaikkan suku bunga, alternatifnya mengurangi defisit bunga APBN,\" jelasnya. (gal)

Tags :
Kategori :

Terkait