Sore itu kami gowes dulu. Malamnya, saat packing, saya mulai demam. Saya pun minum obat, tidur. Bangun pagi masih agak kliyengan, tapi sudah tidak apa-apa. Meneruskan packing, lalu siap-siap check out dan makan lalu ke bandara untuk pulang.
Teman saya yang dokter itu ternyata kemudian juga suntik vaksin lagi. Kemudian, ada teman saya lain lagi di Los Angeles, yang sedang di Amerika urusan lain, juga suntik vaksin (juga Johnson & Johnson karena praktis sekali suntik).
Pembaca yang budiman, saya menulis ini bukan untuk apa-apa. Saya ingin menggambarkan, betapa sederhana, betapa tidak hebohnya, proses vaksin di Negeri Joe Biden. Tidak perlu ada kehebohan khusus dari para pejabat, tidak perlu ada penjagaan khusus dari aparat.
Benar-benar simple. Sebarkan vaksinnya, siapa saja silakan suntik di mana saja. Tidak perlu ke rumah sakit atau kawasan khusus. Cukup ke farmasi atau bahkan supermarket.
Itu saja di Amerika masih dirasa kurang cepat.
Dan saya kira kunci melawan pandemi ini memang harus bisa simple. Kebijakan pemerintah Amerika sangatlah simple. Seperti yang saya tulis di Happy Wednesday sebelum ini (Baca: Masker Akal Sehat), ada anjuran jelas dari pemerintah pusat. Bahwa kalau sudah divaksin, maka seseorang tidak perlu lagi bermasker. Tapi, kebijakan lebih detail diserahkan kepada masing-masing pemilik usaha, apakah mewajibkan konsumennya memakai masker atau tidak.
Tidak ada istilah-istilah PSBB, PS Mikro, PS Lockdown, PS Ambyar, atau apalah. Semua simple, pakai common sense alias akal sehat. Tidak ada lempar-lemparan tanggung jawab soal penerapan kebijakan. Tidak ada bupati ngomel ke gubernur, gubernur ngomel ke menteri, lalu kalau berani ngomel ke presiden. Tidak ada lempar-lemparan tanggung jawab soal izin kegiatan.
Dan yang terpenting: Kebijakannya berdasarkan rasa percaya kepada sains (ilmu pengetahuan). Bukan kebijakan yang ganti-ganti karena menyikapi apa yang sedang ramai di sosmed.
Setelah divaksin masih bisa positif? Iya. Tidak perlu heboh gaduh. Yang penting tidak sampai sakit parah, tidak sampai masuk rumah sakit, tidak sampai meninggal. Bukankah itu tujuan utama vaksin? Bukan untuk tidak positif, tapi untuk mengurangi atau menghilangkan risiko terburuknya!
Setelah divaksin bisa demam dan tidak enak badan? Jangan dihindari. Saya melihat promo vaksinasi di sana. Seorang dokter berbicara: \"Kalau Anda demam setelah divaksin, Anda seharusnya senang. Itu tandanya vaksinnya bekerja.\" Tidak seperti kita, yang seolah inginnya divaksin air saja supaya tidak sakit sama sekali.
Masih ada efek samping dari vaksin tertentu? Jangan heboh. Satu dari satu juta. Harus bisa berpikir sangat global. Dampak baiknya masih jauuuuuh lebih baik dari risikonya.
Mohon maaf. Saya memang lagi sering geleng-geleng kepala baca berita-berita hebohnya pandemi di negeri kita tercinta ini. Hal-hal kecil dihebohkan luar biasa, sehingga tidak ada lagi yang memperhatikan secara holistik.
Energi lebih capek ngurusi yang kecil-kecil, daripada memikirkan bagaimana yang paling utama nanti (mengakhiri pandemi ini). Ya itu tadi, kebijakan jadi dibuat berdasarkan reaksi sosmed, bukan berdasarkan prinsip kebaikan, apalagi sains.
Sekali lagi mohon maaf.
Sekarang saya sadar betul, siapa saja bisa sekolah setinggi langit untuk bisa memikirkan hal-hal paling rumit. Sayangnya, yang kita butuhkan mungkin justru sekolah untuk berpikir simple. Atau malah vaksin yang bisa membuat masyarakat kita lebih simple... (Azrul Ananda)