Boleh dikata kedai teh adalah pusat kebudayaan di sana. Agustinus sendiri menikmati budaya kedai teh itu. Di situ rakyat ngobrol tentang apa saja. Termasuk politik.
“Apakah kira-kira sama dengan kultur chaguan di Tiongkok lama?” tanya saya.
“Ya seperti itu. Tapi kedai teh di Afghanistan lebih seru. Siapa pun boleh sampai tertidur di situ,” ujar Hongming.
\"Anda juga sampai tertidur?” tanya saya.
“Justru saya selalu tidur di kedai teh seperti itu. Tidak pernah tidur di hotel,” jawabnya.
Agustinus pun memutuskan belajar bahasa Parsi di Afghanistan. Mengapa bukan bahasa Pastun? “Karena bahasa Parsi dipakai lebih luas di kawasan itu. Termasuk di negara sekitar Afghanistan,” katanya.
Di kedai-kedai teh itu pun Agustinus pakai bahasa Parsi. Ternyata umumnya mereka bisa bahasa Parsi. Dan memang Afghanistan adalah wilayah pusat kekaisaran Parsi di masa lalu.
Dari pergaulan sampai di tingkat akar rumput itulah Agustinus tahu betapa sulit hubungan antar suku di sana. Orang Pastun benci orang suku Tajiks. Juga sebaliknya. Demikian juga orang Pastun benci orang Hazaras. Dan sebaliknya.
\"Mana yang kurang akurnya lebih berat, Pastun-Tajiks atau Pastun-Hazaras?” tanya saya.
“Pastun-Hazaras,” jawabnya.
Secara fisik orang Pastun dan Tajiks masih mirip: sama-sama tinggi-besar. Orang Hazaras lebih kecil dan pendek. Seperti saya.
“Seperti saya juga,” ujar Hongming. “Saya sering dikira orang Hazaras,” tambahnya.
Tentu Agustinus lebih aman di sana, dibanding orang Hazaras yang Syiah. Agustinus memang bukan Islam tapi juga bukan Kristen, bukan Buddha, bukan Hindu, dan bukan pula Konghucu. “Saya orang bebas,” katanya.
Agustinus sulit percaya Taliban 2.0 akan sebaik yang diucapkan pemimpin mereka seusai menguasai ibu kota Kabul hari Minggu lalu. “Taliban berubah? Terhadap wanita? Belum ada bukti sama sekali,” katanya. “Hubungan antar suku di sana benar-benar sulit,” tambahnya.