Pro Kontra Kebijakan Cukai Rokok, Begini Kajian Peneliti

Selasa 09-11-2021,06:00 WIB
Reporter : Leni Indarti Hasyim
Editor : Leni Indarti Hasyim

PENELITI FEB Unpad, Wawan Hermawan berpendapat kenaikan harga cukai rokok di Indonesia selama ini sudah berhasil menurunkan prevalensi merokok, sehingga peningkatan rokok yang terlalu tinggi dikhawatirkan bisa menyebabkan perubahan konsumsi pada jenis rokok yang lebih murah (subtitusi/rokok ilegal). Jika terjadi demikian, maka hal ini bisa meningkatkan prevalensi merokok akibat mengkonsumsi rokok yang lebih murah.

Berdasarkan hasil kajiannya, persentase perokok anak usia 10-18 tahun terus mengalami penurunan dari tahun 2018 sampai dengan tahun 2020. Penurunan ini, menurut Wawan, konsisten terjadi untuk kelompok umur 13-15 tahun dan kelompok umur 16-18 tahun.

Kelompok umur 10-12 tahun terjadi kenaikan pada tahun 2019 ke tahun 2020, walaupun persentase perokok dari kelompok umur 10-12 tahun sangat rendah dibandingkan dengan kelompok umur lainnya.

“Terdapat perbedaan antara target pada RPJMN 2020-2024 dan data publikasi BPS. Selain itu perkembangan prevalensi merokok juga menunjukkan sudah terjadi penurunan dari tahun 2018 sampai dengan 2020,” kata Wawan, dikutip dari keterangannya, Senin (8/11/2021).

Wawan mengatakan prevalensi merokok umur 10-18 tahun di Indonesia sudah turun sampai dengan 3.81 persen untuk perokok tembakau, dan 3.90 persen untuk perokok tembakau dan elektrik.

“Prevalensi merokok umur 10 tahun ke atas dan 15 tahun ke atas turun dari tahun 2019 dan tahun 2020,” ujarnya.

Menurut Wawan, peluang merokok untuk kelompok umur 10-18 tahun dan 10 tahun ke atas menurun dari tahun 2019 dan tahun 2020 dilihat dari tahun 2017.

2

“Kami memandang pemerintah perlu revisi target indikasi RPJMN untuk target prevalensi merokok umur 10-18 tahun,” katanya.

Direktur eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad mengungkap bahwa terdapat hal yang kontradiktif dimana penerimaan cukai justru turun ketika tarif cukai dinaikkan.

Hal ini menunjukkan bahwa tujuan kenaikan tarif cukai untuk menurunkan prevalensi perokok tidak sesuai yang diharapkan.

“Namun yang menarik, meski cukai naik ternyata penerimaan lebih rendah. Ada hal yang kontradiktif dari target pemerintah. Ini artinya tidak sesuai dengan yang diharapkan prevalensi sesuai tapi penerimaan malah turun,” katanya.

Tauhid merinci, ketika ada kenaikan tarif cukai di tahun 2020 sebesar 23,5 persen, kenaikan cukai justru hanya sebesar 3,8 persen. Angka ini jauh dibandingkan tahun 2019 yang cukainya mengalami kenaikan 13,8 persen.

Di sisi lain, Tauhid juga menilai semakin tinggi tarif maka terbukti semakin tinggi peredaran rokok ilegal. Berdasarkan data tahun 2020, kenaikan tarif cukai menyebabkan persentase peredaran rokok ilegal sebesar 4,86 persen. Angka ini naik dari tahun 2019 yang sebesar 3,03 persen.

“Karena kalau terlalu tinggi tarif cukai, rokok ilegal akan naik. Bahwa jangan juga terlalu tinggi kalau rokok ilegalnya punya peluang banyak,” lanjutnya.

Menurut Tauhid, kenaikan cukai tahun 2022 perlu mempertimbangkam aspek pemulihan ekonomi akibat pandemi sehingga level moderat tetap diperlukan.

Tags :
Kategori :

Terkait