DUA hari ini waktu saya habis di perjalanan. Awalnya ke Ngawi. Bisa lewat tol. Lalu tidak bertemu jalan tol lagi dua hari. Sampai kemarin petang. Baru tadi malam bisa masuk tol lagi. Juga di Ngawi. Untuk balik ke Surabaya.
Acara pertama saya ke Trinil. Di pinggir Bengawan Solo: sowan leluhur. Saya akan menuliskannya. Tidak hari ini.
Dari Trinil saya ke Cepu. Lewat tengah hutan jati: ingin melihat bandara baru Blora. Pemerintah membangun bandara di Cepu, Blora: sudah nyaris selesai. Hebat sekali.
Citilink sudah akan mendarat di situ. Pada 26 November. Pakai ATR 72. Dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Untuk sementara Seminggu dua kali dulu.
Awalnya bandara itu milik Kementerian ESDM. Cepu memang salah satu pusat minyak mentah Indonesia. Letaknya jauh dari bandara Semarang, Surabaya, maupun Solo.
Sudah lebih 30 tahun bandara Migas itu tidak dipakai lagi. Lalu diserahkan ke Kementerian Perhubungan. Dua tahun lalu. Untuk diperpanjang. Landasan 1.200 meter itu pun menjadi 1.500 meter.
Namanya: Bandara Ngloram. Itu diambil dari nama desa setempat. Bupati Blora akan mengusulkan nama baru: Bandara Gus Dur.
Saya ditemani Kepala Bandara Cepu Ariadi. Rupanya ia spesialis merintis bandara perintis. Tugas pertamanya di bandara baru Anambas, di Natuna. Lalu pindah ke bandara baru di pulau Karimunjawa. Dan kini di Cepu.
“Di Cepu badan saya langsung naik,” ujarnya.
Dekat bandara itu ada opor enak. Yang santannya sekental susu kental manis yang agak diencerkan. Saya sampai menghabiskan ayam opor itu tiga potong.
Makan di situ tidak boleh go show. Harus inden dulu. Setidaknya sehari sebelumnya. Pak Bupati Blora Arief Rohman yang melakukan inden. Sang bupati adalah ”bagian marketing” opor ayam Blora itu. Siapa pun tamunya, opor itu yang dipromosikan.
Dari opor saya ke Randublatung. Itu nama kecamatan ketiga terbesar di Blora. Ini untuk kali ketiga saya ke Randublatung. Yang pertama sekitar 55 tahun lalu. Naik sepeda dari kampung saya di Takeran, Magetan.
Ke rumah teman satu kelas di Madrasah Aliyah yang asalnya dari Randublatung. Begitu indahnya masa-masa di SMA. Naik sepeda berdua begitu jauh lewat hutan jati terbesar di Indonesia.
Cepu-Randublatung hanya 28 Km. Tapi harus menghabiskan waktu 1 jam. Sepanjang jalan itu rusak melulu. “Kok tidak diperbaiki?” tanya saya kepada yang duduk di sebelah saya.
“Ini jalan provinsi,” katanya. Sebagai bupati Blora ia tidak boleh menggunakan anggaran daerahnya untuk memperbaiki jalan provinsi.