“Belum pernah,” jawabnya.
“Pernah ke Jakarta?”
“Pernah. Satu atau dua kali. Jalan darat,” katanya.
Selebihnya Gus Mus tidak ke mana-mana. “Oh, sekali ke Jogja. Tengok Butet,” tambahnya. Waktu itu, Butet Kertaradjasa, tokoh seniman Jogja itu memang dikabarkan sakit keras.
Gus Mus, kiai yang juga sastrawan, kini sudah kembali mengajar di pondoknya. Dua kali sehari. Ilmu tafsir Alquran dan Ilmu Hadits.
Selebihnya Gus Mus banyak bicara soal perubahan besar di Saudi Arabia. Di masa pandemi ini kami tidak mau lama-lama bertamu.
Dari Rembang kami terus ke Pati. Sate Blora membuat kami lupa makan malam. Apalagi di sepanjang jalan pantura turun hujan. Macet. Merambat. Jalan beton sebelum kota Juwana itu dibongkar. Jalan beton ternyata bisa rusak. Patah-patah.
Tiba di Pati sudah pukul 21.00. Tinggal satu acara: Zoominar lagi. Itu yang membuat saya tidak bisa cepat tidur. Padahal saya harus bangun jam 03.00. Harus menuju Pondok Kajen sebelum subuh.
Kemarin, saya memang punya banyak acara di Pondok Pesantren Kajen. Termasuk ke makam KH Sahal Mahfudh. Juga senam bersama mahasiswa di kampus.
Balik dari Pati saya harus ke Lasem. Untuk bertemu teman lama di situ. Kebetulan makam guru saya, Pak Muslich Tamam, ada di sekitar 15 km di selatan Lasem. Saya belum pernah ke makam beliau sejak meninggal 20 tahun lalu.
Dari makam itu tidak mungkin balik ke pantura. Lalu lintas pantura mengerikan. Padat sekali. Lengkap dengan truk-truk gandengnya.
Maka saya coba menembus jalan yang menghubungkan Rembang-Bojonegoro. Yakni yang lewat gunung Kendeng. Saya ingin menuju Padangan lewat Jatirogo. Sekaligus ingin tahu jalan-jalan kabupaten di Bojonegoro.
Dari Padangan saya kembali menembus hutan jati menuju Ngawi. Horeee. Ketemu jalan tol lagi. Berarti bisa menulis naskah ini di jalan tol. Sekaligus memilih komentar pilihan.
Nikmat mana lagi yang masih perlu diingkari. (dahlan iskan)