\"Kemudian juga kita harus mewaspadai seandainya ada pesantren-pesantren yang aneh-aneh. Dari pendidikannya, perilaku dan lainnya, jangan sampai orang tua ini memberikan anak kepada pesantren, tetapi tidak tahu latar belakang lembaga tersebut,\" tutur Pak Uu.
Adapun perkembangan saat ini, para santriwati yang menjadi korban tengah mendapat pendampingan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Provinsi Jawa Barat untuk penyembuhan trauma.
Kemudian akan disiapkan pola pendidikan baru sesuai hak tumbuh kembangnya.
Berharap kejadian serupa tak terulang di masa yang akan datang, Pak Uu berharap hukum yang seadil-adilnya terhadap pelaku.
Serta adanya pengawasan yang lebih prima dari semua pihak, baik dari pengelola pondok maupun yayasan atau organisasi yang menaungi.
Adapun bicara pengawasan dari pemerintah daerah, khususnya di tingkat provinsi, Pak Uu menyebut bahwa lahirnya Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2021 tentang Fasilitasi Penyelenggaraan Pesantren.
Diharapkan Perda yang mengatur mulai dari pembinaan, pemberdayaan, serta pembiayaan di lingkungan pesantren ini jadi payung hukum tersendiri supaya hadir pula pengawasan yang lebih ketat dan meningkatkan monitoring terhadap penyelenggaraan pendidikan pesantren.
\"Kami sekarang punya Perda Pesantren, di sana ada pembinaan, pemberdayaan, san aturan anggaran. Kami diminta tidak diminta sebagai pemerintah daerah kepada seluruh lembaga pesantren untuk melaksanakan pembinaan tapi bukan berati kami merasa menggurui,\" ujarnya.
Terakhir, Pak Uu mendorong agar aparat setempat di level desa/kelurahan juga selalu memonitor setiap kegiatan publik yang berada di wilayah kewenangannya, termasuk kegiatan pendidikan. (jun)
Baca juga:
- Bejat! Pemerkosaan Santriwati oleh Oknum Guru Pesantren, Sudah Lahir 9 Bayi, 2 Masih dalam Kandungan
- Kasus Guru Cabul Rudapaksa 12 Santriwati, Sekolah Langsung Ditutup