Mobil Mewah-Uang Miliaran Jadi Tanda Terima Kasih

Sabtu 26-10-2013,09:41 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

JAKARTA - Para pelaku kasus kredit fiktif di Bank Syariah Mandiri (BSM) Bogor harus bersiap menghadapi tuntutan hukum yang berat. Ancaman hukuman untuk kejahatan perbankan sangat berat, belum lagi jika ditambah jeratan pencucian uang. Dalam kasus BSM Bogor, para tersangka dijerat dengan dua Undang-Undang. Yakni, UU nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pasal 63 dan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pasal 3 dan 5. Keduanya memiliki jeratan sanksi yang berat. Pasal 63 UU 21/2008 memuat sanksi untuk para pegawai bank yang membuat catatan palsu, menghilangkan, atau mengaburkan catatan transaksi bank syariah. Ancaman hukumannya minimal lima tahun penjara dan maksimal 15 tahun bui ditambah denda antara Rp10 sampai Rp200 miliar. Jeratan pasal serupa telah membuat Pimpinan Cabang Bank Jatim HR Muhammad Bagoes Suprajogo. Bersama penyelianya, Tony Baharawan, Bagoes divonis penjara 12 tahun dan denda Rp100 juta. Dia terjerat kasus kredit fiktif senilai Rp50,2 miliar bersama Yudi Setiawan, yang juga membobol Bank Jabar Banten senilai Rp55 miliar. Kemudian, pasal 3 UU TPPU memuat sanksi tentang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, uang hasil tindak pidana. Ancamannya maksimal 20 tahun penjara dan denda Rp10 miliar. Untuk pasal 5, ancaman hukumannya maksimal lima tahun penjara bagi para penerima dana hasil TPPU. Kadivhumas Mabes Polri Irjen Ronny F Sompie mengatakan, kedua pasal tersebut dijeratkan bersama, sehingga tidak menjadi subsider satu dengan lainnya. Artinya, jeratan hukuman bagi para tersangka, terutama pegawai bank, bisa berlipat. Menurut dia, kejahatan semacam ini selalu berbentuk sindikat. \"Tidak mungkin dilakukan sendirian. Karena itu, penyidik terus mengembangkan kasus ini,\" terangnya kemarin. Saat in, para tersangka diperiksa untuk diketahui ke mana saja larinya uang hasil kredit fiktif tersebut. Sementara itu, Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Arif Sulistyanto mengatakan, pihaknya telah meminta blokir rekening para tersangka. Kemudian, pihaknya berencana memblokir pula rekening lain yang terbukti menerima aliran dana dari rekening keempat orang tersebut. Arif menuturkan, munculnya ide membuat kredit fiktif berawal saat Iyan Permana selaku debitur mengajukan kredit untuk rumahnya senilai Rp1 miliar. Dia mengajukan kredit ke BSM Cabang Jalan Baru Bogor. Di situlah dia mengenal John Lopulisa, account officer BSM Jalan Baru Bogor. \"Dari situlah mereka masuk dan merencanakan kredit fiktif,\" terang Arif di Mabes Polri kemarin. Berdasarkan temuan tersebut, polisi menduga salah satu di antara Iyan atau John adalah otak dari kasus tersebut. Dari hasil pemeriksaan, kecenderungan sebagai otak kejahatan lebih mengarah ke Iyan. Sebab, para pegawai BSM \"hanya\" mendapat ucapan terima kasih berupa uang Rp3 miliar sampai Rp4 miliar atau sejumlah mobil mewah. Padahal, uang yang berhasil dicairkan mencapai Rp102 miliar. Menurut Arif, Iyan mengajukan kredit fiktif sesuai profesinya, yakni pengembang perumahan. Dia mengajukan kredit dengan sistem mudharabah (bagi hasil) untuk pembiayaan perumahan. Seluruh debitur yang namanya dia ajukan menggunakan catatan palsu. Prosedur bank untuk mengecek kredibilitas debitur, seperti turun ke lapangan, investigasi, dan analisis tidak dilakukan. \"Kalau integritas pegawai bank bagus, ini tidak akan terjadi. Ada pengecekan, nanti akan ketahuan alamatnya palsu dan objek tanah juga tidak ada,\" terangnya. Kemudian, BSM cabang Jalan Baru Bogor mengajukan pencairan dana kepada BSM Cabang Utama Bogor. BSM pusat tidak mengetahui karena persetujuan pencairan kredit ada di tangan kepala cabang utama. Pihak BSM pusat baru mengetahui setelah ada kredit macet Rp59 miliar. Setelah dicek langsung ke lapangan, tidak ada bukti fisik yang sesuai dengan pengajuan kredit Iyan. BSM Pusat kemudian melapor ke Bareskrim Polri. (byu/ca)  

Tags :
Kategori :

Terkait