Teroris yang Jadi Negarawan

Sabtu 07-12-2013,10:34 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

JOHANNESBURG - Jam belum menunjukkan pukul 21.00 ketika kabar duka berembus dari Houghton Estate, kawasan elite di pinggiran Kota Johannesburg, Afrika Selatan (Afsel). Kamis malam lalu (5/12) atau kemarin dini hari WIB (6/12), Nelson Mandela berpulang. Ikon antiapartheid itu mengembuskan napas terakhir di tengah-tengah keluarganya pada usia 95 tahun. Perjuangan Mandela menghapus diskriminasi berdasar warna kulit telah mengubah dunia. Jadi, wajar jika para pemimpin dunia menangisi kepergian tokoh berjuluk Madiba (dalam bahasa Xhosa artinya Bapak Bangsa) tersebut. \"Bangsa kita telah kehilangan putra terbaiknya. Rakyat Afrika Selatan kehilangan seorang bapak,\" ungkap Presiden Afsel Jacob Zuma. Jauh sebelum dunia mengakui Mandela sebagai pejuang kesetaraan hak asasi manusia, Inggris menganggap pria kelahiran 18 Juli 1918 itu sebagai teroris. Tepatnya, saat Negeri Ratu Elizabeth II tersebut berada di bawah kepemimpinan mantan Perdana Menteri (PM) Margaret Thatcher. \"ANC (African National Congress) adalah organisasi teror,\" katanya. Dalam pernyataan yang dia ungkapkan pada 1987 itu, Thatcher juga menyebut ANC, partai Mandela, sebagai organisasi politik yang tidak layak. \"Siapa pun yang berpikir bahwa ANC akan memimpin pemerintahan pasti hidup di cloud-cuckoo land (istilah untuk menyebut negara utopia tempat segala sesuatu berjalan idealis dan sesuai dengan teori),\" imbuhnya. Sikap Thatcher itu pun lantas menjadi sikap resmi Partai Konservatif terhadap ANC. Saat sang Iron Lady tersebut berkuasa, nyaris semua pejabat London memandang rendah Mandela. Bahkan, pandangan itu masih tetap bertahan sampai 1990-an saat Thatcher sudah tidak lagi menjabat. Ketika BBC menyiarkan konser khusus untuk mantan suami Winnie Madikizela itu, Konservatif mengkritiknya sebagai sesuatu yang berlebihan. Sebenarnya, di awal perjuangan Mandela, bukan hanya Inggris yang mencibir atau bahkan memusuhinya. Negara-negara sekutu Inggris pun melakukan hal yang sama. Antara lain, Amerika Serikat (AS) dan Prancis. Tapi, tidak seperti Thatcher, dua negara itu tidak terang-terangan menyebut Mandela dan ANC sebagai ancaman keamanan. Menganut paham Komunis dan Marxis, ANC pun disorot intelijen dunia. Termasuk, CIA. Kabarnya, CIA sampai mendirikan pos khusus di Afsel untuk menyadap dan memantau gerak-gerik Mandela. Penyadapan CIA pada 1962 berujung pada penangkapan Mandela. Pada era 1980-an, Inggris bersama AS dan Prancis menciptakan saingan bagi Mandela. Yakni, Gatsha Buthelezi. Namun, seiring berjalannya waktu, Inggris mampu memandang peraih Nobel Perdamaian 1993 tersebut sebagai tokoh besar. Begitu pengaruh Thatcher memudar, para pemimpin koservatif pun mulai berani mengungkapkan pandangan lain mereka terhadap Mandela. Salah satunya, PM David Cameron. \"Satu sinar cemerlang akhirnya sirna dari dunia,\" ungkapnya kemarin. KELUARGA MANDELA RAWAN TERPECAH Pada tahun-tahun terakhir masa hidupnya, keluarga besar Nelson Mandela sedang berperang memperebutkan harta warisan senilai lebih dari GBP 10 juta atau sekitar Rp194 miliar. Sepeninggal pria yang biasa dipanggil Madiba itu, banyak kalangan khawatir sengketa di internal keluarga Mandela semakin menjadi. Mandela menikah tiga kali dan dikaruniai enam anak. Tinggal tiga di antara mereka yang masih hidup. Semua perempuan. Mereka adalah Makaziwe, Zenani alias Zeni, dan Zindziswa. Makaziwe adalah anak dari pernikahan pertama. Zenani adalah anak dari istri kedua, Winnie Mandela. Dua anak itu dilaporkan terlibat sengketa hukum sejak awal tahun ini, terkait dengan penanganan dana amal senilai GBP 1 juta (sekitar Rp19 miliar). Untungnya, menurut Star of South Africa, putri ketiga, Zindziswa, tidak ikut berebut duit. Uang warisan Mandela disimpan di sebuah rekening oleh Mandela pada 2005. Dana tersebut bisa cair untuk putri-putrinya kalau ada kebutuhan mendesak. Karena Mandela ingin anak-anaknya lebih mengejar karir daripada hidup dengan uang warisan. Konon, Mandela telah menyimpan hartanya dalam bentuk pendanaan di 27 rekening berbeda setelah kehilangan kepercayaan terhadap anak-anaknya terkait dengan pengelolaan uang yang bisa digunakan pada momen-momen khusus saja dan bukan untuk keperluan sehari-hari. Tapi, Makaziwe dan Zeni menuntut akses terhadap dana tersebut dan mulai mengajukan gugatan hukum terhadap dua direktur yayasan tersebut. Salah satunya adalah George Bizos, seorang pengacara 84 tahun yang mendampingi Mandela dalam kasus Rivonia Trial pada 1963. Yang lain adalah Tokyo Sexwale, 60, teman satu sel Mandela saat dipenjara di Pulau Robben. Didukung oleh hampir semua cucu Mandela, Makaziwe dan Zenani menuduh bahwa harta yang dikelola pihak ketiga itu seharusnya diberikan kepada mereka. Mereka menganggap Bizos dan Sexwale telah membajaknya. Makaziwe dan Zenani juga mengajukan gugatan terhadap dua orang yang sama dan seorang pengacara lain, Bally Chuene. Ketiganya adalah direktur perusahaan yang bisnis utamanya menggalang dana dari penjualan karya tulisan Mandela. Dua bersaudara itu mengklaim, Bizos, Sexwale, dan Chuene tidak pernah ditunjuk Mandela sebagai pemegang saham utama atau direktur. Bizos menegaskan, tuduhan tersebut tidak benar. Bisa dipahami bahwa Mandela telah mengumpulkan harta lebih dari GBP 10 juta dari penjualan otobiografi, karya intelektual, dan menjadikan nama keluarganya sebagai sebuah merek. Keluarganya, menjalankan lebih dari 110 perusahaan sebagaimana dilansir harian Beeld. Makaziwe mendirikan sebuah merek wine House of Mandela dan dilaporkan aktif sebagai direktur di 16 perusahaan lain, meski dia membantah sebagian di antaranya. Makaziwe menolak tuduhan bahwa keluarga Mandela telah mengeksploitasi nama Bapak Bangsa itu. \"Ini adalah nama kami sendiri. Mengapa kami harus meminta maaf karena menggunakannya (untuk keperluan bisnis)?\" ujarnya. \"Saya bergerak di bidang industri wine. Ada banyak keluarga yang sudah berkecimpung di industri yang sama selama 500 tahun dan tidak ada yang protes mereka mengeksploitasi nama,\" tegasnya. (Euronews/Daily Mail/hep/c16/dos)  

Tags :
Kategori :

Terkait