JAKARTA - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah selasai menyusun draf RUU Keistimewaan Jogjakarta. Dalam rumusan draf terbaru tersebut, Sri Sultan dan Paku Alam yang bertahta akan diberi posisi sebagai Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama. Namun, usulan ini belum cukup ampuh untuk mendinginkan tensi politik. Respons negatif langsung berdatangan. “Yang saya pahami gubernur itu ya gubernur. Tidak ada istilah gubernur utama, madya, pratama, atau gubernur pajangan,” kata Ketua Fraksi PDIP DPR RI Tjahjo Kumolo di Jakarta, kemarin (7/12). Meski begitu, Tjahjo yang juga Sekjen DPP PDIP itu tetap mendorong pemerintah secepatnya menyerahkan draf tersebut kepada DPR. “Semakin cepat diajukan ke DPR semakin baik. Sehingga fraksi-fraksi bisa menyusun DIM (Daftar Inventaris Masalah, red),” ujarnya. Menurut dia, RUU Keistimewaan Jogjakarta harus dilihat dari berbagai aspek. Mulai pertimbangan historis sampai aspirasi masyarakat Jogjakarta sendiri. “Gelagat arah politik akan dicermati dengan hati-hati oleh kami,” kata Tjahjo. Dia juga memandang polemik menyangkut mekanisme pemilihan atau penetapan hanya masalah komunikasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah Jogjakarta. Apabila sebelumnya ada dialog dua arah antara Presiden SBY dan Sri Sultan Hamengkubuwono X, Tjahjo meyakini tidak akan muncul ekspresi emosional yang memanaskan suasana di Jogjakarta. “Makanya, saya kira persoalan ini juga jauh dari prediksi adanya pengaruh asing yang bermain di Jogjakarta,” tandasnya. Sebelumnya, Mendagri Gamawan Fauzi menerangkan bahwa dalam draf RUU Keistimewaan Jogjakarta, Sri Sultan dan Paku Alam akan diberi posisi sebagai Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama. Gamawan lalu menerangkan mengenai kewenangan seorang Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama itu. Menurut dia, dua tokoh tersebut memiliki kewengan hak protokoler, kedudukan keuangan, memelihara nilai-nilai budaya dan sosial masyarakat Jogjakarta, serta menentukan peraturan daerah istimewa. “Jadi kalau sultan tidak setuju terhadap perda, maka dikembalikan perda itu ke DPRD,” kata Mendagri, Senin (6/12) lalu. Untuk menjalankan pemerintahan nantinya akan dipilih Gubenur secara demokratis. Ini seperti yang dilaksanakan di beberapa daerah lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang. Gamawan menerangkan, dalam pilkada tersebut, Sultan dan Paku Alam juga bisa mencalonkan diri menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur dalam satu paket. Dalam konteks ini berlaku ketetentuan khusus bagi pencalonan Sultan. “Sultan dapat maju secara otomatis tanpa perlu diajukan oleh partai dan tidak perlu syarat 15 persen suara,” ucap mantan Bupati Solok Sumatera Barat itu. Saat Sultan dan Paku Alam maju dalam pemilihan kepala daerah, kerabat keraton lainnya tidak dibolehkan ikut mencalonkan. Tak hanya itu, calon perseorangan lainnya juga tidak dibolehkan ikut pilkada. Jadi yang akan bersaing dengan Sultan dan Paku Alam adalah calon-calon lainnya yang diajukan parpol. “Jika Sultan tidak terpilih menjadi Gubernur, maka dia akan kembali menjadi Gubernur Utama,”. Gamawan juga mengatakan bahwa Sultan tidaklah kebal hukum. Dia menegaskan bahwa semua warga negara Indonesia tidak ada yang kebal hukum dan memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Bahkan, lanjut Gamawan, jika nantinya Sultan terpilih menjadi Gubernur dan melakukan kesalahan maka Sultan akan disidang secara hukum yang berlaku. Meskipun hak kekuasaan eksekutif di Jogjakarta akan menjadi kewenangan gubernur yang dipilih secara demokratis, pemerintah masih memberikan kewenangan yang lumayan penting kepada raja kesultanan Jogjakarta dan Paku Alam. Sultan akan diberi hak veto yang bisa membatalkan kebijakan gubernur yang bertentangan dengan prinsip keistimewaan provinsi itu. “Sultan memiliki hak veto terhadap kebijakan pemerintahan sehari-hari,” kata Staf Khusus Presiden Bidang Otonomi dan Pembangunan Daerah Velix V Wanggai dari Bali, kemarin. Velix mengatakan, sultan dan paku alam akan menjadi dwi-tunggal yang memiliki kewenangan strategis. Antara lain, memberikan kebijakan umum pembangunan dan pengelolaan pemerintahan. Sultan dan paku alam juga memiliki wewenang memelihara kebudayaan. Kewenangan lain adalah menentukan kebijakan pertanahan dan tataruang. “Karena di Jogja tidak hanya penataan ruang yang bersifat fisik, tapi juga yang berbasis budaya. Sehingga pemanfaatan dan penataan ruang harus mempertimbangkan aspek-aspek budaya di Jogjakarta,” katanya. Velix menambahkan, penyusunan RUU Keistimewaan Jogjakarta sangat penting sebagai pelajaran pengelolaan otonomi dan desentralisasi yang bersifat asimetris. “Sehingga, ada pengaturan kelembagaan yang baru yang cocok dengan keistimewaan,” kata dia. Ala Jogjakarta Pihak keraton Jogjakarta meradang ketika seakan-akan ditempatkan di posisi pihak yang antidemokrasi, seiring keinginan pemerintah mengganti model penetapan gubernur/wakil gubernur dengan cara pemilihan. Menurut Adik Sri Sultan Hamengkubuwono X, GBPH (Gusti Bendoro Pangeran Haryo) Prabukusmo, pengisian jabatan gubernur DIY yang identik dengan Sultan adalah bentuk demokrasi budaya. “Yakni, kombinasi paugeran (peraturan, red) adat internal dengan aturan hukum formal tentang syarat-syarat ketentuan gubernur,” ujar Prabukusumo, saat ditemui di Jogjakarta, beberapa waktu lalu. Menurut dia, hal itu lah yang menjadi semangat keistimewaan DIJ sejak awal kemerdekaan. Dia menyatakan, kalau hukum formal tentang syarat ketentuan kepala daerah di Jogja tidak semstinya bertentangan dengan adat internal. “Seharusnya, tetap bisa berdampingan, jangan malah dihadap-hadapkan,” imbuhnya. Menurut dia, sejarah pembentukan DIJ beserta segala keistimewaannya telah diamanatkan dalam proklamasi 17 Agustus 1945. Pembentukannya kemudian diatur lebih lanjut dalam UU No 3 Tahun 1950. Termasuk juga, Amanat Sri Sultan HB IX tertanggal 5 September 1945 dan Amanat Paku Alam VIII tertanggal 30 Oktober 1945. Begitupun, dengan persoalan kepala pemerintahan. Terdapat Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945. Piagam tersebut diberikan Presiden Soekarno kepada Kepala Negara di daerah Yogyakarta, yakni Sri Sultan HB IX dan Pangeran Paku Alam VIII. Piagam itu merupakan jaminan status istimewa dalam politik bagi kedua kepala kerajaan yang telah bergabung dengan Indonesia. “Ini pertaruhan, juga soal harga diri dan martabat ayah saya (HB IX, red),” tegas ketua DPD Partai Demokrat Jogjakarta tersebut. Karena hal itu lah, Prabukusumo menegaskan, posisi dirinya tidak akan berlawanan dengan keinginan masyarakat Jogja. Meski, Presiden SBY yang sekaligus ketua dewan Pembina DPP Partai Demokrat mendukung agar gubernur/wakil gubernur Jogjakarta melalui pemilihan. “Kita lihat dulu lah perkembangannya nanti ini bagaimana,” ujarnya, enggan menyebutkan langkah nyata yang akan dilakukannya. Terkait sistem kesultanan yang antidemokrasi, Adik Sri Sultan yang lain, GBPH Joyokusumo menambahkan, kalau jauh sebelum negara Indonesia terbentuk, Kesultanan Jogjakarta sebenarnya sudah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. “Jadi dari awal terbentuk kesultanan, bukan hanya yang kemarin-kemarin ini saja,” kata Joyokusumo. Dia lantas membeber, bahwa proses terbentuknya Kesultanan Jogjakarta sebagai kelanjutan dari Kesultanan Mataram bukan melalui proses perebutan kekuasaan. Keputusan HB I keluar dari keraton dan memilih melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda saat itu, bukan karena ingin meruntuhkan kekuasaan Mataram. Tapi, justru karena ingin mengembalikan kewibawaan dan kejayaan Mataram. Dalam proses perlawanan tersebut, rakyat lantas mendesak HB I agar naik tahta. Tujuannya, agar ada pemimpin yang berani menolak penjajah sekaligus menjaga nilai-nilai dan budaya yang ada. “Peran rakyat, komitmen kerakyatan yang seperti ini kan juga substansi demokrasi,” papar Joyokusumo, yang juga ditemui di Jogjakarta, beberapa waktu lalu. Selain itu, saat awal-awal pendirian keraton tersebut, HB I lebih memilih gelar Sri Sultan ketimbang Sunan atau yang lain. Menurut Joyokusumo, gelar Sultan dipilih karena lebih memiliki ciri komunikasi dhohiriyah (duniawi). Berbeda dengan Sunan, yang lebih dekat dengan komunikasi makhluk dan penciptanya. “Keputusan ini kan juga penghargaan terhadap pluralisme, nah substansi demokrasi lagi,” imbuh adik kandung Sri Sultan tersebut. Selain itu, semangat penerapan demokrasi lainnya di dalam kraton juga tercermin, saat kepemimpinan dipegang HB IX. Pembaruan sistem politik pemerintahan kesultanan yang cukup drastis dilakukan. Menjelang wafat, sang raja tidak meniru para pendahulunya dalam menentukan secara serta merta sosok putra mahkota yang nanti akan menggantikannya. Biasanya, proses penggantian dilakukan dengan meninggalkan Keris Jaka Piturun kepada salah satu keturunannya sebagai tanda ahli waris takhta. Hingga meninggal, tidak ada keturunaannya yang diberikan keris tersebut. Karenanya, penobatan KGPH Herjuno Darpito, yang kemudian menjadi KGPH Mangkubumi, dan selanjutnya menjadi pimpinan Keraton Yogyakarta bergelar Sri Sultan HB X, merupakan hasil musyawarah internal para rayi dalem. Yang terdiri dari,” adik-adik kandung, sedherek dalem (adik lain ibu), dan sentana dalem (paman, bibi, dan sepupu). Musyawarah para aristokrat itu menggantikan model penunjunkan langsung. “Jadi tidak ada alasan, hargai demokrasi ala Jogjakarta, jangan dipaksakan yang lain,” pungkas Joyokusumo. (pri/kuh/sof/dyn)
Sultan Ditawari Gubernur Utama
Rabu 08-12-2010,07:53 WIB
Editor : Dedi Darmawan
Kategori :