Informasi yang bersandar pada kecanggihan teknologi dan dunia digital telah menjadi mata dan telinga publik. Bahkan menjadi alat kontrol seluruh peristiwa sosial-politik, ekonomi, budaya dan bidang kehidupan lainnya yang relatif efektif dan lebih cepat bisa mengubah.
Mempertimbangkan kembali kekuatan media sosial oleh pejabat publik, para penegak hukum, juga oleh sesama rakyat menjadi keharusan.
Sebab, ternyata apa yang terjadi di media sosial lebih kuat dari media mainstream seperti koran, radio dan televisi.
BACA JUGA:Bhabinkamtibmas Polsek Gunung Jati Ciko Monitoring Pelaksanaan FKP di Balai Desa Klayan
Menurut laporan We Are Social dan Hootsuite, jumlah pengguna media sosial telah mencapai 5,07 miliar orang pada Oktober 2022. Atau 63,45% dari populasi global yang totalnya 7,99 miliar orang.
Jumlah pengguna internet global pada Oktober 2022 lalu telah meningkat 3,89% dibanding periode sama tahun lalu (year-on-year/yoy) yang masih dikisaran 4,88 miliar orang pada Oktober 2021. Sebagian besar pengguna internet global atau 92,1% menggunakan ponsel untuk online.
Tapi kita juga perlu cermati. Di era medsos ini, ungkapan “Vox populi vox dei” itu bukan lagi bisa dimaknai suara rakyat suara Tuhan. Ungkapan itu bisa juga dimaknai sebagai suara buzzer suara Tuhan.
BACA JUGA:Mantan Anggota Dewan PDIP Maju Melalui PBB, PBB Daftar Tanggal 13 Jam 13 Menit 13
Mitos paling umum menjelang pemilu adalah kredo “vox populi vox dei”. Kredo ini sering didengungkan untuk mendorong munculnya partisipasi aktif masyarakat untuk mempergunakan hak suaranya.
Kalimat vox populi vox dei sendiri pertama kali digunakab oleh Alcuin dalam suratnya kepada Maharaja Charlemagne di penghujung abad ke-8.
Ironisnya, Alcuin sendiri justru memperingatkan raja untuk waspada kepada orang-orang yang menjadikan kata-kata tersebut sebagai jargon gerakan demokratisasi. Hal itu jelas mengancam kekuasaan sang raja.
BACA JUGA:Sandera 4 Orang, KKB Minta Uang Tebusan Rp500 Juta
Sekian lama setelah surat Alcuin, istilah ini justru dipopulerkan oleh Uskup Agung Walter Reynolds. Yakni ketika muncul pergolakan terhadap Raja Edward II di abad ke-14, sebagai dukungan terhadap gerakan yang berujung lengsernya sang raja.
Di kemudian hari, pepatah ini menjadi semakin populer ketika dikutip dalam traktat Partai Whig. Bahkan ungkapan ini lestari hingga sekarang. Tujuannya untukmelestarikan legitimasi sistem demokrasi.
Konsekuensi dari penganutan ide ini adalah, pihak mana saja bisa memperoleh suara mayoritas, maka seakan legitimasi dari Tuhan. Tuhanlah yang menggerakkan hati nurani mayoritas masyarakat.
Apalagi sekarang ini, untuk mendapat suara mayoritas banyak yang menggunakan jasa buzzer. Akhirnya suara rakyat hanya seolah-olah karena blazer lah yang menggantikannya. (*)