Untuk mengubah perilaku ini butuh suatu daya tarik, manfaat, insentif yang luar biasa agar mau keluar dari zona nyamannya, mencoba sesuatu yang baru, dan mengambil risiko.
"Karena ini bukan tanpa risiko, the cost of switching cukup tinggi. Saya cukup khawatir, apakah ini sudah diperhitungkan oleh Kementerian Perhubungan maupun pemda," tandasnya.
Sampai dengan saat ini, Alvin menilai, komunikasi dari pemerintah baru sebatas menyampaikan hal-halnya teknis dari Bandara Kertajati.
Tapi benefit manfaat apa yang ditawarkan kepada warga Bandung selain Cisumdawu, belum dikomunikasikan.
Padahal, bila dicermati warga Bandung yang memilih terbang dari Jakarta karena beberapa faktor, yakni soal rute, ketersediaan jadwal, dan pilihan-pilihan airline.
"Ada yang lebih suka terbangnya yang LCC, ada yang suka full service ada yang suka premium," tuturnya.
Tidak hanya itu, sambung Alvin, banyak warga Bandung ke Jakarta tidak sekadar terbang, tapi kegiatan lain.
"Kalau warga Bandung diberi iming-iming terbang dari Kertajati, apa yang membuat mereka tergiur?" tanya dia.
Sayangnya, menurut Alvin, strategi komunikasi Kementerian Perhubungan dan pemda masih self center. Belum ke pengguna jasa dan airline.
Padahal, airline dan konsumen saling tarik menarik. Konsumen juga akan melihat di Kertajati penerbangan apa saja? Sementara airline juga tidak bisa lama-lama di Kertajati.
"Kalau sepi, mereka akan mengurangi penerbangannya dan semakin berkurang, semakin tidak menarik bagi penumpang. Ini akan terjadi seperti yang dulu," bebernya.
Dia juga mengingatkan bahwa Oktober nanti Kereta Cepat Jakarta Bandung akan dioperasikan. Timing ini, justru membuat Bandara Kertajati akan berebut dengan Bandara Halim Perdanakusuma.
BACA JUGA:Pilwu Serentak Kabupaten Cirebon, Bupati Imron: Laksanakan Penuh Dengan Kedamaian
"Kertajati ini sudah pernah mati suri, ini pernapasan buatan hidup lagi. Jangan sampai mati lagi. Kalau mati lagi, saya nggak berani membayangkan," bebernya.