Kerajaan Demak kemudian memerintahkan seorang panglimanya yang bernama Fatahillah, untuk berangkat ke Sunda Kelapa.
Ditemani sekitar 30.000 tentaranya, Fatahillah berangkat untuk mengusir Portugis dari Sunda Kelapa.
Sunda Kelapa sendiri saat itu, diubah namanya oleh Portugis menjadi Repoblik Batav atau yang lebih dikenal dengan nama Batavia.
Mendengar kabar tersebut, pihak Cirebon kemudian menawarkan bantuan kepada Kerajaan Demak.
BACA JUGA:Sejarah Desa Rawagatel, Balong Beracun yang Berhasil 'Disembuhkan'
Karena Kesultanan Cirebon juga merasa terancam dengan adanya Portugis di Sunda Kelapa tersebut.
Pada tahun 1562, pihak Kesultanan Cirebon mengutus seorang panglima wanita yang bernama Nyi Mas Baduran.
Tugasnya, menyiapkan sebuah tempat yang akan digunakan sebagai persinggahan sementara pasukan Demak yang akan menyerang Batavia.
Sebelum berangkat, Nyi Mas Baduran meminta izin kepada Mbah Kuwu Cirebon atau Pangeran Walang Sungsang.
Pangeran Walang Sungsang pun, memberikan restu kepada Nyi Mas Baduran untuk membuka hutan yang tidak bertuan tersebut.
Hutan yang akan dibuka terletak di sebelah utara pelabuhan Muara Jati atau yang sekarang dikenal wilayah Celangcang.
Sebelum berangkat, Nyi Mas Baduran dibekali jimat oleh Mbah Kuwu Cirebon berupa Selendang, yang bernama Selendang Cinde (berwarna kuning keemasan).
Menurut Mbah Kuwu, selendang tersebut akan sangat berguna bagi Nyi Mas Baduran dalam melaksanakan tugasnya untuk membuka lahan hutan tersebut.
BACA JUGA:Sejarah Gempa Sumedang, Goncangan Besar sampai Diliput Koran Belanda
Sesampainya di wilayah hutan sebelah utara pelabuhan Muara jati, Nyi Mas Baduran menebang pohon dan mengumpulkan rerumputan kering.