RADARCIREBON.COM – Guna menekan laju penyebaran penyakit Tuberculosis (TBC) secara global, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menerbitkan Rapid Communication atau informasi cepat tentang obat pencegah TBC.
"Ini suatu aspek yang menarik, karena biasanya kita hanya bicara tentang mengobati yang sudah jatuh sakit, tetapi kembali ditegaskan bahwa ada obat untuk mencegah Tuberkulosis," kata mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Profesor Tjandra Yoga Aditama, dilansir dari Antara, Minggu 18 Februari 2024.
Tjandra yang juga Guru Besar Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) itu mengatakan, publikasi yang terbit pada 14 Februari 2024 itu mencantumkan lima hal terkait obat pencegah TBC.
BACA JUGA:Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilu 2024 di Kecamatan Lemahwungkuk Berjalan Kondusif
BACA JUGA:Berbekal Kenyamanan dan Gaya, Suzuki Luncurkan All New Ertiga Hybrid Cruise di IIMS 2024
Pertama, sekitar seperempat penduduk dunia sudah pernah terinfeksi kuman TBC, namun mereka belum tentu akan jatuh sakit, baik karena fenomena bakteri TBC yang bersifat dorman atau karena daya tahan tubuh yang lebih kuat.
"Berbagai penelitian menunjukkan bahwa sekitar 5-10 persen dari masyarakat yang terinfeksi TBC dapat jatuh sakit, dan utamanya penyakit akan muncul pada dua sampai lima tahun sesudah infeksi awal," katanya.
Kedua, kata Tjandra, WHO secara jelas menyebutkan bukti ilmiah menunjukkan bahwa obat pencegah TBC (TB preventive treatment/TPT) pada mereka yang risiko tinggi akan secara progresif menurunkan risiko untuk penyakit TBC.
"Pada September 2023 di pertemuan dunia UN High Level Meeting on Tuberculosis disepakati komitmen untuk meningkatkan pengobatan pencegatan TBC sampai ke 45 juta orang.”
BACA JUGA:5 Jenis Tanaman Herbal untuk Mengobati Diabetes atau Menurunkan Gula Darah
“Indonesia harus jadi bagian dari pencapaian angka dunia ini, sementara cakupan kita saat ini masihlah rendah," katanya.
Hal Ketiga dalam publikasi itu disebutkan bahwa WHO merekomendasikan penggunaan obat levofloxacin selama 6 bulan, khusus untuk pengobatan pencegahan TBC untuk mereka yang kontak dengan pasien TBC dengan resistensi berganda atau resistensi rifampisin (MDR/RR-TB).
"Ini sejalan dengan hasil penelitian terbaru dari Afrika Selatan dan Vietnam. Tentu akan bagus kalau di masa datang hasil penelitian Indonesia juga akan dapat jadi acuan dunia juga," katanya.
Ke empat, ada perubahan dosis pada regimen pengobatan pencegahan TBC pada obat levofloxacin dan rifapentine, dan juga penggunaan bersama dengan obat dolutegravir.
BACA JUGA:Seperti Apa Nasi Jamblang Ibu Nur di Mata Pengunjung? Berikut ini 5 Ulasannya!
"Ini sesuatu hal baru yang diharapkan memberi pencegahan lebih baik," katanya.
Ke lima, ada integrasi rekomendasi WHO screening guidelines 2021 dengan WHO guidelines on new tests of TB infection.
"Juga ada pembaruan algoritme bagaimana pengobatan pencegahan TBC ini dilakukan pada mereka yang kontak dengan pasien TBC, kelompok ODHA serta kelompok resiko tinggi lainnya," katanya.
TBC adalah masalah kesehatan penting di dunia, termasuk Indonesia yang kini menjadi negara penyumbang kasus ke dua terbanyak TBC di dunia.
BACA JUGA:BYD Selaraskan Pencapaian Bisnis dan Dukungan untuk Mencapai Ekosistem Tanpa Emisi
Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor: 67 tahun 2021 untuk eliminasi TBC di tahun 2030.
"Semoga jumlah yang mendapat pengobatan pencegahan TBC di negara kita dapat terus ditingkatkan secara bermakna, sehingga masyarakat Indonesia benar-benar dapat terlindung dari penyakit TBC yang kini membunuh 16 orang Indonesia pada setiap jam-nya. Menyedihkan sekali," pungkasnya. (*)