Soal Pungutan Sewa ke SKPD, Instruksi Ano Tak Jadi Landasan

Jumat 28-02-2014,09:45 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Pengamat: Hanya Perlu Regulasi Jelas, Tak Perlu Konsultasi ke Kemendagri KESAMBI– Untuk melakukan pungutan sewa kepada SKPD diperlukan regulasi aturan yang jelas dan tegas. Terlebih, lahan yang ditempati dinas-dinas belum ada kejelasan status sertifikat. Instruksi atau amanat Wali Kota Ano Sutrisno tidak cukup menjadi dasar penarikan sewa atas lahan yang disebut milik PD Pembangunan dan dipakai SKPD. Hal ini disampaikan pengamat kebijakan publik, Agus Dimyati SH MH, Kamis (27/2). Agus Dimyati mengatakan instruksi wali kota harus diwujudkan dalam regulasi jelas. Sebab, sambungnya, proses sewa menyewa merupakan perbuatan hukum. Tanpa regulasi yang jelas, sama saja PD Pembangunan bertindak tidak atas dasar hukum dan termasuk kategori pungutan ilegal. “Jangan memungut sewa tanpa landasan. Instruksi wali kota tidak cukup menjadi alasan,” ucapnya. Begitupula jika harus berkonsultasi ke Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri), Agus menilai langkah itu melangkahi kewenangan daerah di era otonomi daerah. Menurut pria yang juga dosen hukum otonomi daerah itu, pemisahan aset sudah sangat jelas dan tidak perlu dipertanyakan ke pemerintah pusat. Jika tetap ingin menetapkan sewa bagi SKPD yang menempati lahan PD Pembangunan, harus ada surat edaran berdasarkan ketentuan aturan jelas. “Harus ada kajian matang sebelum membuat surat edaran. Karena surat itu resmi dan bersendikan hukum,” terang Agus Dimyati. Dia menambahkan, menjadi hal yang tidak lazim saat PD Pembangunan mendapatkan pemasukan dari hasil sewa SKPD. Sebab, Pendapatan Asli Daerah (PAD) itu berasal dari pihak swasta atau non pemerintah. Sementara, SKPD secara jelas kepanjangan tangan dari pemerintah. “Laporan pertanggung jawabannya bagaimana kalau kebijakan sewa kepada SKPD dilakukan? Dari pemkot membayar untuk perusahaan pemkot,” tukasnya. Karena itu, Agus yakin Kemendagri akan mengembalikan keputusan pada kebijakan daerah. Di samping itu, dengan ditarik sewanya SKPD untuk lahan yang ditempati, sama dengan mengacaukan sistem politik anggaran. Meskipun PD Pembangunan merupakan perusahaan daerah dengan aset dipisahkan, tetap pertanggung jawaban akhir ada pada wali kota. Di sisi lain, lanjut Agus, wali kota sebagai pemimpin dari para SKPD. “Dinas-dinas itu melakukan pelayanan publik. Tidak perlu memungut sewa,” tukasnya. Karena itu, dia menilai tidak tepat jika wali kota membuat surat edaran tanpa dasar hukum jelas. Akademisi Unswagati Sigit Gunawan SH MKn menyatakan, selama ini PD Pembangunan banyak menjual tanah. Namun, menjadi mengherankan jika perusahaan plat merah itu tidak melepas lahan yang ditempati SKPD. “Serahkan saja ke pemkot. Inventarisir lagi lahan yang ada dan dimaksimalkan,” ucapnya, kemarin. Perda tahun 1973 tentang pendirian PD Pembangunan tidak dapat menjadi dasar penetapan sewa. Menurutnya, landasan perda PD Pembangunan belum menyesuaikan dengan aturan baru. Dimana secara jelas menyebutkan aset perusahaan daerah bisa disewakan kepada pihak swasta, bukan pemerintah. Dikatakan Sigit, instruksi wali kota yang menjadi salah satu dasar PD Pembangunan menerapkan kebijakan sewa menyewa harus dilakukan secara tertulis dan memiliki dasar hukum jelas. Sebab, jangan sampai kebijakan wali kota menimbulkan masalah hukum baru di kemudian hari. Tidak hanya itu, jika PD Pembangunan memaksakan SKPD membayar sewa, posisi wali kota tidak dianggap sebagai pemangku kebijakan tertinggi di Kota Cirebon. Sebab, belum ada landasan resmi yang menjadi alasan sewa. “Kalau yang menempati SKPD provinsi atau pusat, tidak apa-apa dipungut sewa. Tapi ini SKPD Pemkot Cirebon, tidak perlu ada sewa,” ujarnya. (ysf)

Tags :
Kategori :

Terkait