RADARCIREBON.COM- Dalam beberapa waktu terakhir, hujan masih mengguyur wilayah Cirebon dan sekitarnya. Kendati demikian, sejatinya rata rata wilayah Cirebon telah memasuki musim kemarau pada pertengahan hingga akhir bulan Mei 2024 ini.
Prakirawan BMKG Stasiun Meteorologi Kertajati Dyan Anggraini kepada Radar Cirebon menjelaskan bahwa pada tahun ini terdapat kemunduran awal musim kemarau di sebagian besar wilayah Cirebon dan sekitarnya dibanding biasanya.
Biasanya, awal musim kemarau mulai berlangsung pada akhir bulan April hingga 10 harian (Dasarian) pertama bulan Mei. Namun pada tahun ini, awal musim kemarau baru dimulai pada bulan Mei dasarian dua hingga dasarian tiga.
"Artinnya sebagian besar wilayah Cirebon, musim kemaraunnya mundur satu hingga dua dasarian dari pada normalnya," Ungkapnya.
BACA JUGA:Persib Juara Liga 1 Musim 2023-2024, Bojak Hodak: Kami Bekerja Dengan Baik
Dyan menambahkan bahwa sifat musim kemarau pada tahun ini lebih basah dibanding keadaan normalnya. Sementara puncak musim kemarau diperkirakan terjadi pada bulan Juli-Agustus 2024.
“Bahkan untuk beberapa wilayah seperti sebagian Cirebon bagian tengah durasinya sekitar 1-2 bulan. Panjang musim kemarau lebih pendek dari kondisi normalnya,” ucapnya.
Sementara itu, BMKG pusat menyebut bahwa sejumlah wilayah di Indonesia berpotensi mengalami kekeringan meteorologis pada musim kemarau. Sehingga, kesiapsiagaan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mendesak perlu terus dilakukan.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati menyampaikan bahwa mayoritas wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara sudah mengalami Hari Tanpa Hujan (HTH) sepanjang 21-30 hari atau lebih panjang. Selain itu, berdasarkan analisis curah hujan dan sifat hujan yang dilakukan BMKG, menunjukkan bahwa kondisi kering sudah mulai memasuki wilayah Indonesia, khususnya di bagian Selatan Khatulistiwa.
BACA JUGA:Soal Rekomendasi Partai Golkar untuk Pilkada Jabar dan DKI, Ridwan Kamil: Saya Menanti Pengumumannya
"Sebagian wilayah Indonesia sebanyak 19% dari Zona Musim sudah masuk Musim Kemarau dan diprediksi sebagian besar wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara segera menyusul memasuki musim kemarau dalam 3 dasarian (30 hari) ke depan. Kondisi kekeringan ini saat musim kemarau akan mendominasi wilayah Indonesia sampai akhir bulan September," paparnya.
Untuk itu, lanjut Dwikorita, maka daerah dengan potensi curah hujan bulanan sangat rendah dengan kategori kurang dari 50mm per bulan perlu mendapatkan perhatian khusus untuk mitigasi dan antisipasi dampak kekeringan. Adapun daerah tersebut meliputi sebagian besar Pulau Sumatra, Pulau Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Bali dan Nusa Tenggara, sebagian Pulau Sulawesi, dan sebagian Maluku dan Papua.
Sementara itu, lanjut Dwikorita, dari hasil monitoring hotspot yang dilakukan dengan satelit, menunjukkan telah munculnya beberapa hotspot awal pada daerah-daerah rawan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sehingga diperlukan perhatian khusus untuk mengantisipasi terjadinya kebakaran di sepanjang musim kemarau.
"Memperhatikan dinamika atmosfer jangka pendek terkini, masih terdapat jendela waktu yang sangat singkat yang bisa dimanfaatkan secara optimal sebelum memasuki peride pertengahan musim kemarau," ujarnya.
BACA JUGA:Persib Bandung Juara Liga 1 Musim 2023-2024, Bey Machmudin: Puas Pisan
Berkaca dari hal tersebut, maka BMKG memberikan sejumlah rekomendasi teknis yang bisa dilakukan sebagai langkah mitigasi dan antisipasi. Diantaranya, penerapan teknologi modifikasi cuaca untuk pengisian waduk-waduk di daerah yang berpotensi mengalami kondisi kering saat musim kemarau dan membasahi dan menaikkan muka air tanah pada daerah yang rawan mengalami karhutla ataupun pada lahan gambut.
Agar upaya modifikasi cuaca dapat terlaksana dengan efektif dan efisien dalam memitigasi potensi bencana kekeringan, BMKG berharap agar Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta Kementerian Pertanian dapat memastikan koneksitas jaringan irigasi dari waduk ke kawasan yang terdampak kekeringan benar-benar memadai.
Sementara itu, kepada pemerintah daerah, BMKG merekomendasikan agar daerah yang masih mengalami hujan atau transisi dari musim hujan ke musim kemarau, untuk dapat segera mengoptimalkan secara lebih masif upaya untuk memanen air hujan. Pemanenan dapat dilakukan melalui tandon-tandon/ tampungan-tampungan air, embung-embung, kolam-kolam retensi, sumur-sumur resapan, dan lain sebagainya seiring dengan upaya mitigasi dampak kejadian ekstrem hidrometeorologi basah yang sedang dilakukan.
"Terkait pertanian, maka pola dan waktu tanam untuk iklim kering pada wilayah terdampak dapat menyesuaikan. Karenanya, BMKG akan melakukan koordinasi lebih lanjut dengan Menteri Pertanian dan Gubernur Provinsi terdampak," imbuhnya. (awr)
BACA JUGA:Stockpile Batubara Masih Beroperasi, Warga RW 01 Kampung Pesisir Selatan Kembali Protes