Ismail Haniyeh berasal dari keluarga pengungsi yang diusir paksa dari desa Al-Jura dekat Gaza selama Nakba Palestina 1948.
Ia lahir pada tahun 1963 di Kamp Pengungsi Beach di barat Kota Gaza dan tinggal di sana hingga 2019 sebelum pindah ke Qatar untuk memimpin biro politik Hamas.
BACA JUGA:Pemkab Kuningan Pilih Konten Kreator Dibanding Jurnalis, Ini Tanggapan Pj Bupati
BACA JUGA:Pernah Mundur dari Wabup, Warga Indramayu Kapok Dukung Lucky Hakim
Pada tahun 1981, ia mendaftar di Universitas Islam Gaza dan lulus dari program Sastra Arab.
Haniyeh adalah ayah dari 13 anak, tiga diantaranya tewas dalam serangan udara Israel di Kamp Pengungsi Beach pada April 2024.
Haniyeh memulai karier politiknya dengan cabang mahasiswa Hamas, yang dikenal sebagai Blok Islam. Ia beberapa kali ditangkap oleh tentara Israel.
Pada 1987 dia pertama kali ia ditangkap dan tentara Israel menahannya selama 18 hari. Kemudian, pada tahun 1988, ia ditangkap selama enam bulan tanpa dakwaan.
Pada tahun 1989, ia ditangkap untuk ketiga kalinya dan menghabiskan tiga tahun di penjara Israel atas tuduhan menjadi anggota layanan keamanan Hamas.
BACA JUGA:TPA Ciniru Kabupaten Kuningan Over Load, Begini Instruksi Pj Bupai ke Pemdes
Setelah dibebaskan dari penjara Israel, ia dideportasi ke wilayah Marj al-Zouhour di Lebanon selatan bersama lebih dari 400 warga Palestina, sebagian besar dari kelompok Hamas dan Jihad Islam, selama lebih dari setahun.
Pada tahun 2006, Haniyeh memimpin daftar pemilihan Hamas, yang dikenal sebagai Blok Perubahan dan Reformasi, yang memenangkan mayoritas parlemen.
Setelah pemilihan, Presiden Palestina Mahmoud Abbas meminta Haniyeh untuk membentuk pemerintahan.
Tetapi karena konflik internal dan ketidaksepakatan dengan kelompok Fatah, Abbas memecatnya pada Juni 2007.
Namun, pada tahun 2007, ia mengambil alih sebagai pemimpin Hamas di Gaza, posisi yang dipegangnya hingga 2017.
BACA JUGA:Kesaksian Dedi Mulyadi: Selama 8 Tahun Hidup Dede Tersiksa