Pro Kontra Pembangkit Geothermal

Kamis 06-03-2014,11:24 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

SEPERTI yang telah diberitakan Harian Umum Radar Cirebon, dari dokumen yang dimiliki, sesuai hasil survei Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat, Kuningan memiliki potensi panas bumi sebesar 235 mega watt. Potensi tersebut, berada di tiga titik kawasan kaki Gunung Ciremai yaitu, Desa Sangkanhurip Kecamatan Cigandamekar, Desa Ciniru dan Desa Penjambon Kecamatan Jalaksana. Data tersebut memperjelas, pemerintah Indonesia menjadikan pengembangan energi panas bumi sebagai prioritas. Menurut Badan Geologi di 2010, Indonesia saat ini baru mengembangkan energi panas bumi untuk pembangkit listrik sebesar 1.189 MW (4,3%) saja. Menurut Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025 sebagai penjabaran dari Peraturan Presiden No 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, energi panas bumi diharapkan berkontribusi sedikitnya 16 GW di 2025. Tentunya, masyarakat perlu mengetahui, informasi yang dihimpun radarcirebon.com, terkait geothermal energy atau energi panas bumi, dalam seminar nasional VIII SDM Teknologi Nuklir Yogyakarta, dua tahun lalu, terungkap, panas bumi adalah sumber energi panas terkandung di dalam air panas,uap air dan batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya secara genetik semuanya tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem panas bumi. Panas bumi (geotermal) terbentuk secara alami di bawah permukaan bumi. Sumber energi tersebut berasal dari pemanasan batuan dan air bersama unsur-unsur lain tersimpan di dalam kerak bumi. Disebutkan, energi panas bumi, energi diekstrasi dari panas yang tersimpan di dalam bumi, berasal dari inti bumi. Inti bumi terdiri berbagai jenis logam dan batuan berbentuk cair, memiliki suhu sangat tinggi. Dalam kajian tersebut, diungkapkan, geothermal berasal dari aktivitas tektonik di dalam bumi, dan juga berasal dari panas matahari yang diserap oleh permukaan bumi. Apakah energi dari panas bumi dapat menyebabkan perubahan iklim? ASKP Bidang Perubahan Iklim SETKAB, Zurias Ilyas, menjelaskan, Kekhawatiran masyarakat akan isu perubahan iklim didorong meningkatnya efek GRK, terutama emisi CO2. Gas CO2 berperan penting dalam meningkatkan suhu bumi, namun jika sudah berlebihan dapat membawa dampak merugikan. Di lain pihak, peningkatan gas rumah kaca terutama CO2 merupakan hasil dari kegiatan bidang energi. Pemakaian energi fosil, sebagian besar kalangan dianggap penyumbang terbesar gas CO2. \"Dari semua emisi gas, sangat dominan adalah gas CO2 hasil pembakaran bahan bakar energi fosil batubara, minyak bumi, dan gas bumi,\" ungkapnya. Emisi CO2 pembangkit listrik panas bumi sangat rendah bila dibandingkan dengan minyak dan batubara, sehingga memiliki kesempatan untuk memanfaatkan CDM produk Protokol Kyoto. Tahun 1997 di Kyoto sebuah tata cara penurunan emisi GRK dan dikenal, Protokol Kyoto diadopsi. Melalui Protokol Kyoto target penurunan emisi negara-negara industri dilaksanakan melalui mekanisme transparan. Di dalam Protokol Kyoto telah disepakati target dan jadwal penurunan emisi yang harus dilakukan negara maju, sebesar 5% dari tingkat emisi tahun 1990 harus dicapai dalam periode 2008-2012. Untuk mencapai target penurunan emisi dikenal mekanisme fleksibel atau Kyoto. Data STTN-BATAN dan PTAPB BATAN, tingkat konsumsi energi rata-rata orang Indonesia sekitar 14 Giga Joule, sedangkan tingkat konsumsi energi rata-rata Amerika Serikat, Belanda, Inggris, dan Jepang berturut-turut sekira 317, 216, 164, dan 141 Giga Joule. Saat ini, sekitar 86% konsumsi energi dunia berasal dari sumber daya tak terbarukan, bahan bakar fosil (BBF) berupa minyak bumi, gas alam, dan batu bara, dan hanya 6% berasal dari sumber energi terbarukan. Oleh karenanya, Direktur Panas Bumi Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Tisnaldi mengungkapkan, proyek panas bumi sangat konsisten dengan lingkungan, jika satu pohon ditebang karena pengembangan proyek tersebut maka perusahaan pengembang wajib menanam tiga pohon. Namun, hingga saat ini masalah utama geothermal, penentuan titik bor. Karena keakuratan yang tinggi dalam menentukan titik bor sangat dibutuhkan. Karena jika kita salah dalam melakukan pengeboran maka energi yang keluar tidak akan sebesar yang kita harapkan sementara itu biaya untuk satu kali pengeboran relatif besar. Komunitas Mahasiswa Sentra Energi (Kamase) UGM, mengungkapkan pembangunan pembangkit tenaga geothermal mempengaruhi kestabilan tanah. Hal ini terjadi ketika air diinjeksikan ke lapisan batuan kering ketika di sana tidak ada air sebelumnya. Uap kering dan uap dalam skala kecil juga membebaskan dalam level rendah gas karbon dioksida,nitrit oksida, sulfur meskipun hanya sekitae 5% dari level jika menggunakan bahan bakar fosil. Meskipun demikian, pembangkit listrik tenaga geothermal dapat dibangun dengan sedikit emisi-dengan membuat sistem control yang dapat menginjeksikan gas-gas ke dalam tanah dengan mengurangi emisi karbon agar kurang dari 0.1% dari total emisi dengan pembangkit listrik dengan bahan bakar fosil. Meskipun lapisan geothermal dapat menghasilkan panas dalam beberapa decade akan tetapi secara spesifik beberapa lokasi akan mengalami pendinginan karena pembangunan sumber yang erlalu luas sementara hanya sedikit energi yang tersedia. Di sisi lain, biaya investasi lebih mahal dibandingkan penggunaan energy lainnya. Nilai susut investasi pada peralatan akan lebih cepat, kerena PLTP dibangun di kawasan sumber aip panas dan uap yang mengeluarkan gas H2S yang bersifat korosif. Mengakibatkan Terjadinya hujan asam. Menurunkan stabilitas tanah sehingga dapat menyebabkan erosi dan amblesan (subsidence). Penyusutan dan menurunnya debit dan kuailtas sumber air disekitarnya. Berubahnya tata guna lahan. Terganggunya kelimpahan dan keanekaragaman biota disekitar PLTP. (wb)

Tags :
Kategori :

Terkait