Pemerintah Diminta Kaji Ulang Tambang Geothermal

Sabtu 08-03-2014,09:00 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

KUNINGAN - Pakar pertambangan dan energi, Ir H Tajudin mengatakan, proses berdirinya pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), memerlukan waktu tidak sedikit. Di banyak negara, ada yang butuh waktu dua sampai tiga tahun. Lamanya waktu dari tahap awal sampai pendirian pembangkit, diperlukan guna meyakinkan masyarakat di sekitar lokasi terkait pemanfaatan panas bumi menjadi listrik. Misalnya di Venezuela dan Filipina. Perusahaan pemenang tender pembangkit listrik terjun langsung ke wilayah di sekitar lokasi untuk meyakinkan masyarakatnya. “Tidak serta merta langsung jadi dan dibangun pembangkit listrik panas bumi. Perlu waktu untuk meyakinkan masyarakat di sekitar lokasi pembangunan. Di sejumlah negara, proses pendekatan ke masyarakat memerlukan waktu antara 2 hingga 3 tahun, bahkan bisa lebih tergantung kemampuan orang-orang di perusahaan tersebut mempresentasikan kelebihan dan kekurangan pembangkit listrik panas bumi. Kalau masyarakatnya setuju, proses pembangunannya mungkin bisa lebih singkat,” paparnya kepada Radar melalui sambungan telepon, kemarin sore (7/3). Dalam pendekatan ke masyarakat sebelum proses pembangunan, papar dia, sebaiknya perusahaan melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama dan pemerintah daerah. Ini untuk meminimalisasi penolakan dari warga. “Sebaiknya pemerintah menggandeng tokoh masyarakat setempat saat sosialisasi pembangunan pembangkit listrik. Dan yang paling penting, pemerintah juga harus transparan dengan rencana pembangunan tersebut. Tidak perlu ada yang ditutup-tutupi. Termasuk juga masalah kompensasi jika memang itu ada dari perusahaan pemenang tender,” ucap Tajudin. Menyangkut rencana pembangunan PLTP di Kabupaten Kuningan, Tajudin mengatakan, keberadaan PLTP, siapapun pemenang tendernya, akan membuka lapangan kerja bagi masyarakat lokal atau di sekitarnya. Tak hanya itu, pengusaha atau rekanan di daerah bisa menjadi mitra kerja perusahaan pemenang tender. Nantinya, perusahaan lokal digandeng untuk menjadi pemasok kebutuhan pembangunan pembangkit listrik. Sedangkan penduduk sekitar bisa menjadi pekerja di perusahaan itu baik sebagai pegawai yang memiliki skill maupun non skill. Biaya operasional PLTP pun terbilang rendah dibanding PLTB dan PLTD. Sedangkan keuntungan dari pemanfaatan panas bumi jauh yang diperoleh perusahaan lebih besar ketimbang biaya operasional. “Itu setelah pembangkit listrik panas bumi beroperasi. Biaya terbesar yang dikeluarkan perusahaan adalah saat survei mencari titik-titik lokasi dan pengeboran panas bumi. Nilai investasinya mencapai triliunan rupiah,” katanya. Tajudin mencontohkan penggunaan bahan kimia di pertambangan emas milik perusahaan Amerika Serikat, PT Newmont Nusa Tenggara Barat. Di pertambangan seperti ini ada limbah merkuri, dan limbah lainnya yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Penanganan limbahnya juga khusus. “Nah, PLTP ini sama sekali tidak memakai bahan kimia dalam produksinya. Tidak ada pencemaran yang perlu dikhawatirkan. Yang digunakan PLTP untuk memutar turbinnya adalah uap dari panas bumi, dan tidak memakai bahan kimia,” tegasnya. RUSAK ALAM Berbeda dengan Tajudin, penggiat kearifan lokal, H Eka Santosa menilai pertambangan panas bumi akan merusak alam. Untuk itu, dirinya mengajak seluruh masyarakat Ciayumajakuning untuk menolak tambang Geothermal. Dalam jumpa pers yang digelar di RM Flamboyan Sindangsari Kecamatan Sindangagung, kemarin (7/3), Eka mengatakan belum terlanjur untuk dikaji ulang. Pemikiran ulang mesti dilakukan menyangkut untung rugi serta bahaya dari kebijakan yang merusak tersebut. “Banyak contohnya. Di Garut, Kabupaten Bandung dan lainnya, masyarakat yang jadi korban. Karena apa sih untungnya bagi masyarakat? Apakah kini warga Garut makin sejahtera? Sekolah gratis dan ke rumah sakit gratis? Tetap saja sengsara. Lantas siapa yang diuntungkan?” tandas pria yang menjabat ketua Forum DAS Citarum itu. Apapun alasannya, imbuh dia, kebijakan eksploitasi Gunung Ciremai harus dihentikan. Justru sebaliknya, kearifan lokal gunung tersebut harus tetap dipertahankan. Budaya, adat istiadat dan tatanan kehidupannya yang melegenda, harus dipertahankan. Gunung Ciremai, menurutnya memiliki sejarah panjang dan selama ini memberi kemakmuran bagi masyarakat. “Di situ kan hutan lindung. Sumber air yang menghidupi masyarakat Kuningan, Cirebon, Majalengka dan Indramayu. Jadi harus dijaga keutuhannya. Saya setuju jika ada perlawanan dari masyarakat,” ungkapnya. Ditanya tentang lelang yang memenangkan perusahaan asing, Chevron, Eka justru mempertanyakan kewenangan siapa. Gubernur Jabar Ahmad Heryawan tidak mempunyai kewenangan. Justru Eka menilai, Aher sangat tidak peduli lingkungan. Dicontohkan kebijakan sapi di Cikapundung dimana kotorannya digelontorkan. Selain itu di Lembang meledak, Hulu Citarum digelontorkan. “Konsep Citarum dengan anggaran lebih dari Rp1 triliun, kan larinya ke proyek,” ketusnya. Kembali ke persoalan awal, pihaknya melihat UUD 45 amandemen terutama pasal 33. Bumi, air dan segala isinya diperuntukkan sebesarnya untuk kepentingan rakyat dan dikuasai Negara. Namun kenyataannya, malah diswastakan dengan masuknya Chevron. “Katanya taman nasional, kok swasta masuk. Harus diingat ribuan tahun siapa yang menjaga kelestarian hutan gunung? Kok sekarang ada institusi yang seolah jadi pahlawan menjaga gunung. Menurut saya tidak nasionalis kebijakan tersebut. Apakah dengan begitu menjadi satu-satunya cara menyejahterakan rakyatnya?” ucap dia. Pertambangan geothermal, menurut dia, harus batal. Jangan sampai Gunung Ciremai diobrak-abrik pihak asing. “Kalau ada geothermal, ya pasti hutan dirusak. Banyak buktinya, di Kabupaten Bandung, Garut dan lainnya,” sebut dia. Eka meminta agar gubernur bertanggung jawab. Dia juga mencium gelagat tidak baik kaitan dengan tumpang tindih kewenangan. Eka mempertanyakan sejak kapan Gunung Ciremai boleh dieksplotasi, kemudian atas izin siapa. Dirinya sempat menyinggung soal UU 41/1999. Mestinya kewenangan hutan itu dilimpahkan ke daerah. Karena pusat hanya mengurusi kebijakan fiskal, agama dan lainnya, tidak termasuk hutan. “Begini, orang datang ke Kuningan itu mau apa? Kan untuk melihat kearifan lokalnya, menikmati air panas yang sumbernya dari gunung. Kalau gunungnya diganggu, lantas bagaimana?” kata dia. Dia menyesalkan Aher yang ceroboh terhadap lingkungan. Sekarang ini Jabar jadi parah dengan luas hutan yang kurang dari 10 persen. Bupati Kuningan juga mesti ada keberanian untuk bersikap, terlebih banyak masyarakat yang menolak. “Di samping penolakan Geothermal, saya juga memandang perlu untuk meluruskan taman nasional. Karena Geothermal masuk lewat taman nasional,” pungkasnya. (ags/ded)

Tags :
Kategori :

Terkait