Penggalian Nilai-Nilai Universal Agama Perlu Dilakukan untuk Tegakkan Moralitas Serta Etika di Kehidupan

Rabu 25-09-2024,15:00 WIB
Reporter : Leni Indarti Hasyim
Editor : Leni Indarti Hasyim

RADARCIREBON.COM – Nilai-nilai universal agama menjadi salah satu sumber moralitas tertinggi dan utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hal itu ditegaskan dalam diskusi kelompok terpumpun (FGD) yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bertema Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara: Etika dan Agama di Universitas Pattimura, Ambon, Maluku, Jumat (20/9/2024)

Sebagai sebuah negara beragama di mana keseluruhan warga negara Indonesia memiliki kebebasan beragama sebagaimana tercantum dalam konstitusi pasal 29 ayat 2 UUD NRI 1945 (Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu), maka sebagai sebuah konsekuensi logis ia juga berkewajiban menjalankan nilai ajaran agama dan atau kepercayaan yang dianutnya.

Tidak ada satu pun agama yang mengajarkan nilai-nilai keburukan, semua nilai-nilai universal agama selaras dan integral dengan nilai etika dan moralitas secara umum. Karenanya orang yang menjalankan ajaran agamanya secara paripurna, ia juga akan berperilaku secara etis.

BACA JUGA:BPIP Minta Maaf Atas Pelarangan Hijab Bagi Paskibraka Putri

“Religiutas bangsa Indonesia sudah terangkum dalam diktum pembukaan UUD 1945 dan sila pertama Pancasila, sebagai urat tunggang menurut Buya Hamka di dalam satu tulisan tahun 1950, yang mendasari atau mempengaruhi sila lainnya,” Kata Andar Nubowo Direktur Eksekutif Ma’arif Institute.
Namun fenomena yang terjadi saat ini adalah, ajaran agama hanya menggema menjadi sebuah ritual tanpa penghayatan. Agama hanya menjadi simbol dan institusi, bukan dimaknai dalam lubuk hati dan diimplementasikan menjadi perilaku.

Para penyelenggara negara yang niretika seolah-olah mencederai wajah Indonesia sebagai “negara beragama (religious national state)”.

“Yang jadi keprihatinan adalah kita saksikan peluruhan etika dan moralitas publik yang banal di depan mata. Sebuah paradoks di negara yang beragama dan Pancasila,” imbuh Andar.

Beberapa problematika di antaranya praktik korupsi, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan terhadap perempuan, egoisme, hedonisme, perilaku diskriminatif, perampasan terhadap sumber daya alam, perusakan lingkungan (ecological justice), perdagangan manusia (human trafficking), krisis integritas dan banyaknya conflict of interest, politisasi agama dan politik identitas.

BACA JUGA:Tekankan Makna Kemerdekaan Indonesia dalam Sarasehan Pancasila di Yogyakarta

Selain itu, yang terjadi saat ini juga menguatnya stereotif negatif dan prejudice, oligarki, munculnya politisi rabun ayam menurut Buya Hamka (radikal, rakus, tamak), rezim agama, ekstrimisme keagamaan, rendahnya amanah dan tanggung jawab dalam pemerintahan hingga menyebabkan erosi kepercayaan publik dan lain sebagainya.

Jika ditelusuri salah satu akar persoalan etika, hal ini bukan hanya persoalan negara tetapi juga merupakan persoalan masyarakat “negara fotokopi Masyarakat” sehingga kesalahan sistem pembentukan karakter masyarakat menentukan sistem bernegara yang ideal.

“Kalau kita gunakan cara pandang bahwa elite yg terpilih itu adalah representasi, pantulan dari warga kita. Maka yang harusnya diperbaiki adalah warga kita,” ujar Halili Hasan, Direktur Eksekutif Maarif Institute.

Satu contoh persoalan masyarakat yang determinan dengan problem kerapuhan etika adalah karena pola asuh yang memberi kebebasan dan toleransi pada anak usia dini sehingga menyebabkan anak menjadi minim tanggung jawab, egois, self sentris, permisif, mentalitas menerabas, tidak disiplin, meremehkan mutu (meritocracy), berwatak lemah, tidak berpendirian, boros, dan tidak mau bekerja keras.

BACA JUGA:Perusahaan Anak BRI Raih Peringkat Pertama Dalam Kompetisi Pembukaan Rekening Efek Terbanyak

“(Pola asuh) itu tidak membentuk karakter, apa lagi karakter tanggung jawab. Tanggung jawab adalah inti dari semua karakter mulia. Orang yang bertanggung jawab tidak akan melakukan korupsi, tidak akan lakukan pungli. Di masyarakat kita karakter tanggung jawab tidak ditanamkan,” ungkap Tamrin Amal Tomagola, Sosiolog Universitas Indonesia.

Selain itu ditambah dengan orientasi budaya “shame culture”, sistem kekerabatan keluarga luas (extended kinship system), ketergantungan anak pada orang tua dalam pola tempat tinggal serta sistem komunal “Big Man” (penghambaan terhadap salah satu tokoh keluarga).

Semua ini jika dibawa pada ranah kenegaraan menciptakan kepatuhan buta. Hal ini berbeda dengan pola asuh masyarakat Barat dengan piramida terbalik yang melakukan pembatasan dan pengajaran secara ketat saat anak pada usia dini dan mandiri saat dewasa sehingga anak tumbuh dengan tanggung jawab dan menempatkan hak orang lain diatas haknya karena menyadari bahwa setiap individu memiliki kesamaan hak.

Jika dikorelasikan antara akar pola asuh yang membentuk perilaku niretika dan kehidupan masyarakat luas, khususnya para penyelenggara negara juga ketiadaan tauladan dari penyelenggara negara maka menjadi bola panas yang semakin memperburuk situasi kerapuhan etika di seluruh elemen anak bangsa.

BACA JUGA:Tingkatkan Kompetensi Jurnalis di Indonesia, Dewan Pers Apresiasi BRI Fellowship Journalism 2025

“Situasi kurang sensitivitas banyak dilakukan oleh penyelenggara negara,” ujar Zuly Qodir, Guru Besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Contoh lainnya, digitalisasi telah menciptakan masyarakat baru (netizen) kerap kali menggunakan media sosial dengan tidak bijak dengan menyebarkan ujaran kebencian, hoaks, dan lain sebagainya.

Mereka juga cenderung tidak kritis dan tidak melakukan filterisasi terhadap berita dan informasi sehingga menjadi komunitas yang memperburuk sistem bernegara yang beretika.

Padahal citizen Indonesia di lain pihak mempromosikan sikap toleran seperti imam besar Masjid Istiqlal yang mencium kepala Paus Fransiskus saat berkunjung ke masjid Istiqlal, Jakarta. Di sisi lain netizen justru menyebarkan berita hoaks yang sungguh keji dan mencederai agama.

BACA JUGA:Puluhan Boneka Digantung di Pohon Beringin Jalan Perujakan Menarik Perhatian Warga, Seni atau Mistis?

“Ini ada masalah pada media sosial. Di kalangan netizen, saya melihat banyak pikiran busuk. (Tapi) Ini masalah netizen, bukan masalah citizen. Kelihatannya citizen tidak bermasalah besar,” ujar Moch Qasim Mathar, Guru Besar UIN Alauddin Makassar.

Di sisi lain, paradoks keagamaan sendiri juga memiliki banyak problematika. Di antaranya paradoks Ketuhanan yang Maha Esa yang bersifat mandatory monotheism yang memformalisasi kepercayaan dan mengklaster kepercayaan menjadi sebuah agama tertentu sehingga memaksa keseragaman dalam beragama.

Kategori :