SBY Kirim Surat Penundaan Eksekusi

Kamis 27-03-2014,11:15 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

*Minta TKI Jaga Perilaku di Luar Negeri JAKARTA - Kasus Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Satinah yang terancam hukuman mati, menarik perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), khususnya terkait jumlah uang diyat yang mencapai puluhan miliar. Kemarin (26/3), sekitar satu jam sebelum bertolak ke Lampung untuk kegiatan kampanye, SBY menyempatkan menggelar rapat terbatas (ratas) membahas nasib Satinah. Dalam kesempatan tersebut, dia menekankan bahwa pemerintah selalu berupaya keras menangani para TKI yang bermasalah di negara-negara tempat mereka bekerja, termasuk kasus Satinah. \"Wajib hukumnya bagi kita, salah atau tidak salah, kalau saudara kita diancam hukuman mati, kita berikhtiar mengurangi hukuman itu dan bebas dari hukuman mati. Ini policy kita. Kita melakukan segala upaya agar saudara kita dapat pengampunan. Paling tidak dikurangi hukumannya, tidak menjadi hukuman mati. Khusus Satinah, saya kira semua sudah bekerja habis-habisan,\" papar SBY saat membuka ratas di Kantor Presiden, kemarin. SBY melanjutkan, untuk membebaskan Satinah, pemerintah terus melakukan negosiasi terkait besarnya tebusan atau diyat yang dimintakan ahli waris keluarga almarhum sebesar 7 juta riyal Saudi atau sekitar Rp20 miliar. Sejauh ini, pemerintah sudah menitipkan uang diyat itu sebesar 4 juta riyal atau Rp12 miliar kepada Baitul Maal di Buraidah yang sewaktu-waktu bisa diambil oleh pihak keluarga majikan Satinah. Di samping itu, tim dari Kemenkopolhukam yang diutus menangani perkara tersebut, telah melaporkan bahwa eksekusi pembayaran diyat diundur sampai 3 April mendatang. Dari pihaknya, Presiden RI keenam itu menegaskan bahwa dirinya telah dua kali menulis surat permohonan kepada Raja Arab Saudi sehingga hukuman Satinah diringankan dari hukuman mati mutlak (had ghillah) menjadi hukuman mati dengan qishas, dengan peluang pemaafan melalui mekanisme pembayaran uang darah (diyat). Karena perkara pembayaran besaran diyat masih alot, SBY pun kembali menyurati Raja Arab Saudi. \"Hari ini (kemarin) diteken langsung oleh saya, akan kita kirim surat lagi agar bisa diperpanjang (ditunda) eksekusinya. Insya Allah ada titik temu dan bisa dibebaskan,\" kata SBY. SBY menekankan, negara selalu berupaya memberikan bantuan hukum bagi para WNI yang tinggal dan bekerja di luar negeri, tidak terbatas hanya para TKI. Pihaknya menyadari jika terdapat WNI yang dijatuhi hukuman mati di luar negeri, publik langsung merespons dengan kemarahan. Namun, dia mengingatkan bahwa hukuman dijatuhkan melalui proses pengadilan yang panjang. Karena itu, dia menginginkan publik juga melihat dari sisi kejahatan yang telah dilakukan TKI atau WNI yang bersangkutan. \"Saya mengerti kalau masyakarat kita marah (jika ada TKI terancam hukuman mati). Tapi kadang-kadang masyarakat kurang mendapatkan informasi yang jelas. Ketika ada WNI yang dijatuhi hukuman mati oleh sebuah negara lewat pengadilan yang akuntabel, maka seolah-olah mereka tidak bersalah. Padahal, setelah kita checked one by one, yang diancam hukuman mati, rata-rata kejahatannya adalah pembunuhan, pembunuhan diserta perampokan dan kejahatan narkoba berkategori berat,\" jelasnya. Presiden 64 tahun itu melanjutkan, pihaknya berharap setiap WNI termasuk TKI yang berada di luar negeri, mampu menjaga diri dari perilaku-perilaku yang mengarah pada tindak kejahatan. Sebab, negara juga kewalahan jika terus-menerus mencari pengampunan dan pembebasan, belum lagi jika menyangkut uang diyat yang jumlahnya hingga puluhan miliar seperti uang diyat dalam kasus Satinah. \"Ini sedang kita negosiasikan urusan Satinah. Mencapai di atas Rp20 miliar (diyat). Rakyat harus tahu, apakah negara harus menanggung terus? Puluhan miliar dikeluarkan. Bagaimana keadilannya dengan rakyat di dalam negeri. Meski begitu, bagi saya, apapun kita harus bekerja keras untuk bebaskan dari hukuman,\" imbuhnya. Sementara itu, Menkopolhukam Djoko Suyanto menuturkan, dalam waktu dekat, pemerintah akan kembali mengirim tim yang dipimpin oleh mantan Menteri Agama Maftuh Basyuni ke Arab Saudi, untuk melakukan lobi ke sejumlah pihak, terkait dengan upaya pembebasan Satinah. \"Tim ini berupaya kembali mendekati pihak keluarga, mendekati para tokoh masyarakat yang ada di Arab Saudi, juga aparat pemerintah di sana untuk melobi, melakukan upaya-upaya koordinasi agar eksekusi pembayaran diyat itu paling tidak bisa ditunda sampai dengan nanti batas perundingannya seperti apa,\" kata Djoko usai rapat terbatas di Kantor Presiden, kemarin. Djoko memaparkan, dalam proses negosiasi yang berlangsung sejak tahun lalu sampai sekarang, sudah ada kesepakatan yang diambil antara pemerintah Indonesia yang dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri dan Kedubes RI di Saudi Arabia. Setidaknya, sudah ada skema yang disepakati antara kedua pihak. Skema tersebut yang nantinya akan dimatangkan. \"Saya tidak akan bicara skemanya seperti apa, karena masih dirundingkan. Akan tetapi, skema itu yang ditawarkan oleh keluarga korban. Mudah-mudahan dengan skema ini yang sudah disepakati bersama pada pertemuan-pertemuan yang lalu, bisa menunda eksekusi pembayaran diyat, sehingga menyelamatkan Satinah dari hukuman mati,\" paparnya. Terkait dengan besaran diyat, Djoko menuturkan, saat ini dana yang disiapkan baru mencapai sekitar 4 juta riyal atau Rp12 miliar. Namun, tidak tertutup kemungkinan jumlah tersebut akan bertambah dari beberapa relawan yang membantu mengumpulkan bantuan bagi Satinah. \"Saya juga sudah dihubungi beberapa pengusaha yang ingin membantu menambah beban pemerintah, menambah alokasi untuk pembayaran diyat,\" tuturnya. Ketika disinggung apakah sudah ada deal soal diyat, terkait dengan skema yang telah disepakati kedua negara, Djoko mengakui adanya hal tersebut. Namun, dia enggan menjelaskan lebih detail kesepakatan yang dimaksud. Sudah ada deal. Sekali lagi saya tidak ingin memberikan deal-nya antara kita dengan mereka karena masih dirundingkan. Nanti apabila dalam satu-dua-tiga hari tim ini sudah kembali dari Arab Saudi akan melaporkan kesepakatan itu, baru akan saya sampaikan,\" imbuhnya. Sementara itu, upaya SBY yang hanya sebatas mengirim surat pada Raja Saudi cukup disesalkan oleh Analis Kebijakan Migrant Care Wahyu Susilo. Wahyu bahkan sempat menyindir tindakan Ketua Umum Partai Demokrat itu sebagai hobi korespondensi. \"Ini sudah zaman canggih, masa surat-menyurat terus. Banyak cara selain menyurati, terlebih ini kan sudah mendekati hari eksekusi,\" katanya. Menurutnya, pemerintah tidak belajar dari pengalaman sebelumnya dalam melakukan perlindungan terhadap WNI di luar negeri. Akibatnya, banyak TKI yang akhirnya harus mendapatkan hukuman mati. Pernyataan Wahyu tersebut mengarah pada tiga kasus TKI yang telah dihukum mati di Timur Tengah sebelumnya, yakni Yanti Riyanti (2008), Darman Agustiri (2010), dan Ruyati (2011). Ia mengatakan, jika pemerintah tak segera melakukan perubahan terkait perlindungan WNI di luar negeri, maka akan banyak lagi WNI yang harus meregang nyawa di negeri orang. Saat ini dikatakannya, ada sekitar 265 WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri saat ini. Menurutnya, mereka dijatuhi hukuman mati karena telah membunuh. Alasannya beragam, mulai dari membela diri karena disiksa maupun tidak dipenuhinya hak-hak mereka. \"265 orang itu baik yang sedang diproses hukum di tingkat pertama maupun vonis tetap. Khusus Saudi, ada 13 orang yang sudah vonis akhir dan tinggal menunggu eksekusi. Sementara 39 orang lainnya masih dalam proses hukum dengan ancaman hukuman mati,\" jelas Wahyu. Terpisah, Kedutaan Besar RI di Riyadh mengabarkan bahwa kondisi Satinah saat ini dalam keadaan baik dan sehat. Menurut Pelaksana Konsuler KBRI Riyadh Susilo Wahyuntoro, Satinah dari hari ke hari semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Satinah pun mengaku padanya bahwa ia telah pasrah dan ikhlas menghadapi hukuman pancungnya yang tinggal menghitung hari. \"Beliau semakin mendekatkan diri pada Alloh. Bahkan sudah hafal beberapa juz, mungkin 15 juz. Kami juga terus menguatkan beliu, kami juga katakan kalau pemerintah akan terus berusaha mendekati ahli waris untuk mendapat pengampunan,\" tuturnya. Satinah saat ini tengah ditahan di penjara Kota Buraydah, Provinsi Gasim. Provinsi tersebut berbatasan langsung dengan Provinsi Madinah atau sekitar 400 km dari Riyadh. Ia dijatuhi hukuman pancung pada tahun 2007. Dalam persidangan, ia mengakui telah membunuh majikannya dan mengambil uang sang majikan sebesar Rp119 juta. Ia mengaku emosi karena telah disiksa oleh sang majikan selama ia bekerja. (ken/mia)

Tags :
Kategori :

Terkait