
“Militer harus profesional dan tidak boleh memasuki ranah pemerintahan sipil. Namun, kita melihat bagaimana ribuan prajurit aktif kini menduduki jabatan sipil, yang seharusnya menjadi ranah kepolisian,” ungkapnya.
Wijayanto menilai bahwa penerapan kembali dwi fungsi militer dapat membawa Indonesia menuju otoritarianisme.
Ia juga menyoroti bahaya kembalinya praktik Orde Baru, di mana militer tidak hanya mengurusi pertahanan tetapi juga berperan dalam politik dan pemerintahan.
“Hal ini harus dihindari agar tidak terjadi kemunduran demokrasi,” tegas Wijayanto.
BACA JUGA:UGJ Gelar Nuzulul Quran, Momen Refleksi dan Penguatan Menuju Kampus Digital
Menurut Wijayanto, pengesahan RUU TNI yang membuka jalan bagi militer untuk menduduki jabatan sipil dapat dilihat sebagai bentuk “kudeta merangkak” yang mengancam agenda reformasi politik di Indonesia.
Wijayanto juga mengkritisi ketidakdewasaan elite sipil dalam menghadapi fenomena ini.
“Banyak politisi yang seharusnya menjaga demokrasi justru berkompromi dengan militer dan kepolisian. Ini adalah pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip demokrasi,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa parlemen harus lebih proaktif dalam mengawasi kebijakan yang dapat merugikan rakyat dan melemahkan demokrasi.