250 Ribu Polisi Jaga TPS

Senin 07-04-2014,07:48 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

*Versi TNI AD, Sulsel Daerah Paling Rawan JAKARTA - Petugas keamanan menjanjikan all out menjamin keamanan dan kenyamanan masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya Rabu (9/4). Anggota kepolisian yang awalnya dipecah-pecah selama beberapa tahap pemilu bakal dimobilisasi untuk tugas pengamanan pada hari coblosan. Mabes Polri bakal menerjunkan 248.524 personel yang berdasar jumlah tempat pemungutan suara (TPS) dan tingkat kerawanannya. Mereka mengamankan 545.778 TPS yang dibagi ke dalam level normal, rawan 1, dan rawan 2. Termasuk di antara ratusan ribu pasukan itu adalah tim pengamanan di luar negeri. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Boy Rafli Amar mengatakan bahwa komposisi pengamamnan di TPS level normal adalah 2-10-5. Artinya, dua polisi dibantu 10 anggota linmas mengamankan lima TPS. Untuk level rawan 1, komposisinya 2-4-2. Dua polisi dibantu empat linmas mengamankan dua TPS. Untuk level rawan 2, komposisinya 2-4-1. Sebagian personel lain ditugaskan mengamankan panitia pemungutan suara (PPS), panitia pemilihan kecamatan (PPK), KPU, dan sebagian lagi berpatroli. “Untuk pemilih luar negeri, kita memiliki 130 perwakilan. Anggota kami berangkat mengamankan sejak pekan lalu,” kata Boy di Mabes Polri kemarin (6/4). Beberapa negara yang menjadi perhatian utama adalah Malaysia dengan tim pengamanan 18 orang, Singapura (4), Hongkong (8), dan Arab Saudi (8). Kadivhumas Mabes Polri Irjen Ronny F Sompie menambahkan, seluruh personel pengamanan TPS harus sudah berada di TPS mulai besok (8/4). Mereka akan mengecek persiapan akhir pemungutan suara dan memastikan kelancaran pendistribuan logistik pemilu ke setiap TPS. “Mereka juga membantu KPU dan Pemda untuk mencopoti atribut-atribut kampanye dari lokasi-lokasi yang tidak perlu lagi ada atribut tersebut,” lanjut mantan Kapolwiltabes Surabaya itu. Di tempat terpisah, Kasad Jenderal Budiman mengadakan videoconference dengan seluruh Pangdam se-Indonesia. Dari pantauan TNI AD, dihasilkan beberapa kawasan yang rawan. Kawasan paling rawan saat pemilu versi TNI AD bukanlah Aceh dan Papua, tetapi Sulawesi Selatan (Sulsel). Menurut Budiman, Sulsel memiliki tingkat kerentanan konflik agama, politik, dan sumber daya yang paling besar dibandingkan daerah lain. Di bawah Sulsel, barulah muncul Aceh. “Itu karena ada dua kali konflik kekerasan, yaitu penembakan antar pengikut partai-partai lokal yang terlibat (pemilu),” tutur Budiman. Di pulau Jawa, yang paling rawan adalah di Jawa Barat (Jabar). Sedang di Papua, kerawanan terjadi hanya di beberapa lokasi. Dari analisis intelijen, kerawanan bukan berasal dari persoalan konflik, melainkan distribusi logistik. “Tugas Pangdam, dorong Dandim, Danrem, untuk lebih optimal dalam penyelesaian masalah,” tambahnya. Sementara itu, dari kampanye terbuka selama 21 hari dianggap tidak efektif untuk mendongkrak perolehan suara masing-masing parpol. Suguhan kampanye terbuka ala Orde Baru masih menjadi menu yang disajikan parpol, karena hanya berisi hiburan dengan diselingi sindiran terhadap peserta pemilu lain. Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti mengatakan, ada sejumlah catatan yang menunjukkan bahwa kampanye terbuka tidak efektif menarik hati pemilih. Mayoritas parpol tidak mampu mengoptimalkan kampanye terbuka. Seringkali lokasi kampanye terlalu besar, tapi peserta tak menyentuh setengah ruangan yang tersedia. “Akibatnya, kampanye parpol berkesan sepi dan lengang. Tentu saja, hal seperti ini dapat mengurangi kesan positif terhadap parpol bersangkutan,” ujarnya. Ray juga menambahkan, panggung kampanye terbuka lebih didominasi dengan hiburan. Porsi hiburan mendominasi karena massa diajak untuk menunggu orasi jurkam yang muncul di saat akhir. Di beberapa kampanye, massa justru lebih cenderung memperhatikan hiburan daripada isi orasi. “Seringnya terjadi berangkai \'pelanggaran-pelanggaran kuno\' kampanye,” ujar Ray. Seperti konvoi yang mengabaikan aturan lalu lintas, saweran, pelibatan anak, bahkan tarian yang menjurus kepada erotisme. Dari situ, syarat utama kampanye terabaikan dengan serius. Ray menyatakan, penyampaian visi dan misi parpol tidak memiliki diskursus yang penting. Gambaran Indonesia ke depan tidak tergambarkan. Sebaliknya, yang muncul adalah nuansa saling serang terhadap parpol lain. “Sindiran-sindiran merajalela. Sindiran berbeda dengan kritik, karena kritik adalah nalar objektif kritis atas situasi yang berkembang di tengah masyarakat,” ujarnya. Ray menambahkan, dari hasil evaluasi, menunjukkan bahwa masyarakat sudah berubah. Model kampanye terbuka kurang diminati. Di tengah kesadaran pemilih yang meningkat, opsi kampanye dengan pengumpulan massa bukan sarana yang tepat. “Di tengah fasilitas media sosial yang menjamur, pemilih pemula emoh untuk berpanas-panas, atau kehujanan di panggung kampanye,” ujar Ray. Di atas itu semua, Ray menilai model kampanye dengan tatap muka, dialog yang intens, dan silaturahmi harus menjadi model kampanye di masa depan. Namun, parpol saat ini nampaknya belum memiliki komitmen untuk itu. Hanya sebagian kecil caleg yang berani dan mampu melakukan. “Pertanyaannya, apakah partai kita menyadari perubahan-perubahan ini atau tetap ingin bergelut dengan cara klasik yang mulai tidak efektif. Termasuk mengeluarkan banyak biaya tapi efeknya bagi pendulangan suara tidak seberapa,” tandasnya. (byu/bay/agm)

Tags :
Kategori :

Terkait