Politik Uang Penentu Kemenangan

Selasa 22-04-2014,11:38 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

JAKARTA - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Hajriyanto Y Thohari mengatakan, berbagai dialog yang dilakukan antara caleg dengan pemilih selama berlangsungnya kampanye hanya sekedar mukadimah atau pembukaan. Menurutnya, siapa yang akan dipilih masyarakat sebagai anggota DPR atau DPRD, sangat ditentukan oleh seberapa besar uang yang dibagi-bagikan kepada pemilih. Hajriyanto menyebut politik uang itu dengan istilah “sentuhan akhir para caleg”. “Selama kampanye di daerah pemilihan, saya habiskan waktu untuk mendatangi konstituen dan berdialog untuk merumuskan aspirasinya. Hasilnya ternyata tidak efektif karena saya tidak melakukan sentuhan akhir dalam sebuah kampanye,” kata Hajriyanto Y Thohari, di gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/4). Dibanding dengan pemilu sebelumnya, menurut politisi Golkar itu, politik uang di pileg 2014 memang semakin merajalela dan masif bahkan lebih terbuka. “Saya meyakini salah satu penyebabnya karena sistem pileg yang terlalu personel dan harus pula bertarung dengan sesama kader di internal partainya,” ujar Hajriyanto. Kedua lanjut dia, faktor pendidikan rakyat Indonesia yang rata-rata kelas 2 SMP dengan angka kemiskinan 11,6 persen serta pengeluaran per hari di bawah satu dolar Amerika Serikat. “Ketiga, kultur politik kita, di mana kultur pilkades sudah terbiasa dengan bagi-bagi duit. Masyarakat menyimpulkan, untuk jadi kades saja kasi duit apalagi mau jadi wakil rakyat yang gajinya lebih besar. Juga harus bagi-bagi duit,” ungkapnya. Hal yang sama sebetulnya juga terjadi pada pemilu 2009. “Tapi pileg 2009 sepertinya menjadi ajang bagi masyarakat untuk mendalami bagimana seharusnya politik uang dimainkan dan pileg 2014 aplikasinya dan ternyata lebih canggih,” pungkas Hajriyanto. Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti juga menilai, pemilu legislatif 2014 merupakan pemilu yang praktik politik uangnya paling parah dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya. “Ini kali pertama praktek politik uang begitu masif dalam pemilu kita dan itu dibiarkan oleh penyelenggara pemilu,” kata Ray Rangkuti dalam diskusi, di gedung komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/4). Selain marak politik uang lanjutnya, pelaksanaan pemilu kali ini juga terbilang aneh karena terjadi pemungutan suara ulang di 20 provinsi hanya dengan alasan tertukarnya surat suara. “Dalam UU, tertukarnya surat suara tidak masuk dalam kategori dilakukannya pemungutan ulang suara. Kecuali bencana alam,” tegasnya. Lebih lanjut, Ray menduga jajaran penyelenggara pemilu ikut bermain dalam jual beli suara. “Penyelenggara pileg ada yang jadi calo bahkan terlibat langsung dalam jual beli suara,” ujarnya. Hal lain yang disorot Ray soal daftar pemilih tetap (DPT), yang menurutnya juga belum beres. Demikian juga halnya dengan jumlah lembaran kertas suara yang dicetak, menurut Ray, tidak satupun yang tahu jumlahnya. “Sempurna sudah kacaunya pemilu legislatif 2014 ini. DPT tidak jelas, jumlah kertas suara yang dicetak dan beredar juga misterius dan di mana-mana terjadi pemungutan ulang suara,” pungkasnya. (fas/jpnn)

Tags :
Kategori :

Terkait