Secara operasional, KCIC sebagai pelaksana proyek berada di posisi paling dekat dengan keputusan teknis, kontraktual, dan finansial. Bila di kemudian hari terbukti terjadi mark-up biaya atau pelanggaran spesifikasi teknis, tanggung jawab hukum melekat pada jajaran manajemen dan kontraktor utama.
Pembiayaan proyek ini melibatkan pinjaman besar dari China Development Bank dengan skema kolateral dan risiko gagal bayar (default risk) yang tinggi. Dengan struktur seperti ini, KCIC tidak hanya berperan sebagai operator, tetapi juga sebagai peminjam dengan beban finansial masif.
BACA JUGA:Kesaksian Rasmita, Pengemudi Truk Boks yang Terlibat Kecelakaan Maut di Jalur Pantura Cirebon
Dalam kerangka Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), kelalaian manajemen yang menimbulkan kerugian negara dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum bila terbukti ada unsur kelalaian berat atau penyalahgunaan kewenangan.
Sementara pemerintah, khususnya pada masa Presiden Joko Widodo yang mendorong proyek ini sebagai proyek strategis nasional memiliki tanggung jawab politik dan administratif yang tidak kalah besar.
Sebagai pemilik saham mayoritas melalui konsorsium BUMN, pemerintah berada dalam posisi pengambil keputusan strategis, yaitu dari penetapan rute, pembebasan lahan, hingga penyetujuan pinjaman luar negeri. Dalam teori public accountability, keputusan investasi publik yang diambil tanpa dasar studi kelayakan ekonomi yang realistis termasuk dalam kategori mismanagement.
Jika ternyata terdapat keputusan yang diambil berdasarkan proyeksi penumpang yang terlalu optimistis atau informasi finansial yang tidak akurat, maka hal tersebut berpotensi melanggar prinsip due diligence dan bahkan bisa masuk ke ranah penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Tipikor.
BACA JUGA:Komitmen Ciptakan Kondisi Keselamatan Berkendara, YAMAHA dan BOSCH Gelar Pelatihan Safety Riding
Kondisi ini tidak hanya unik bagi Indonesia. Flyvbjerg, B. (2014) dalam kajiannya tentang megaprojects di berbagai negara menemukan bahwa sekitar 45–60% proyek besar dunia mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) dan keterlambatan waktu akibat kombinasi antara political bias dan optimism bias. Fenomena serupa tampak pada proyek KCJB, di mana narasi kebanggaan nasional dan target ambisius cenderung menutupi perhitungan ekonomi yang realistis.
Dari sisi pengawasan, kelemahan struktural juga menjadi faktor kunci. Fungsi kontrol dari lembaga seperti KPK, BPK, dan inspektorat seharusnya berjalan sebagai sistem pengaman utama untuk memastikan setiap proses pengadaan dan pembiayaan berlangsung sesuai asas transparansi dan akuntabilitas.
Namun, jika pengawasan dilakukan secara formalistik tanpa evaluasi substantif, maka yang terjadi adalah omission liability tanggung jawab karena kelalaian atau pembiaran terhadap potensi penyimpangan. Dalam konteks hukum publik, kelalaian pengawasan bukan hanya kesalahan administratif, tetapi bisa menjadi bentuk kontribusi terhadap kerugian negara.
Adapun tanggung jawab terbesar tidak dapat dilepaskan dari pemegang saham dan konsorsium BUMN yang memiliki 60% kepemilikan atas KCIC. Dalam teori state-owned enterprise governance, kegagalan proyek publik semacam ini tidak hanya mencerminkan kegagalan korporasi, tetapi juga state failure.
BACA JUGA:Kecelakaan Maut di Jalur Pantura Cirebon, 1 Orang Meninggal Dunia
Direksi dan komisaris BUMN wajib memastikan setiap investasi memiliki dasar ekonomi dan hukum yang kuat melalui proses due diligence dan risk assessment. Bila pengambilan keputusan dilakukan tanpa analisis memadai, maka mereka dapat dimintai pertanggungjawaban hukum berdasarkan UU BUMN dan UU Perseroan Terbatas.
Perbandingan Kasus Internasional
Kasus kereta cepat Wuhan–Guangzhou di Tiongkok pada tahun 2011 merupakan contoh klasik tentang bagaimana political interference dapat menimbulkan konsekuensi fatal. Proyek ini awalnya dipuji sebagai simbol kemajuan teknologi transportasi China, namun segera berubah menjadi skandal nasional ketika Menteri Perkeretaapian, Liu Zhijun, terjerat kasus korupsi besar-besaran. Liu terbukti menerima suap dan mengatur kontrak proyek secara tidak transparan, hingga akhirnya dijatuhi hukuman mati dengan penundaan pelaksanaan.
Kasus ini menunjukkan bahwa bahkan negara dengan kemampuan teknis tinggi sekalipun tidak kebal terhadap korupsi jika pengawasan publik dan institusi penegak hukum tidak berjalan independen. Political interference di tingkat kementerian menyebabkan pengambilan keputusan yang lebih berorientasi pada ambisi politik ketimbang rasionalitas ekonomi.
Dari kasus ini, Indonesia dapat belajar bahwa keberhasilan infrastruktur besar tidak dapat dilepaskan dari integritas pejabat dan sistem audit yang kuat; tanpa itu, kemajuan teknologi hanya menutupi kelemahan tata kelola.