BACA JUGA:Kabar Baik! Ribuan Pekerja Rentan di Kabupaten Cirebon Dapat Perlindungan Jaminan Sosial
Sejarah mencatat, kawasan Sukalila dan Kalibaru telah ramai sejak masa penjajahan Belanda.
Sungai Sukalila menjadi penggerak utama perdagangan. Toko-toko berjajar di sepanjang Jalan Sukalila dan Kalibaru.
Kehidupan ekonomi tak lepas dari keberadaan makam Tumenggung Arya Wiracula atau Tan Sam Tjay, tokoh penting masyarakat Tionghoa di Cirebon.
Makam Tan Sam Tjay menjadi magnet ziarah. Arus peziarah datang sepanjang tahun, tak hanya saat Ceng Beng.
BACA JUGA:Modus Penipuan Voucher Hotel Murah di Cirebon Terbongkar, Puluhan Ibu-Ibu Jadi Korban
Kehadiran mereka menghidupkan kawasan. Perdagangan berkembang. Komunitas Tionghoa memainkan peran besar dalam roda ekonomi kota.
Pemerhati Budaya Tionghoa, Jeremy Huang, mencatat ragam usaha warga Tionghoa di era Belanda dan Jepang.
Mulai dari perdagangan gula, palawija, hasil bumi, tembakau, hingga perhotelan, emas, dan meubel. Ekosistem ekonomi di bantaran sungai terbentuk kuat dan bertahan lama.
Nama-nama pelaku usaha pun melekat dalam sejarah lokal. Di Kalibaru terdapat Toko Waring penjual bahan pakaian. Di Sukalila, Oey Liang Kie membuka bengkel croom dan pernekelan.
Sementara di Kalibaru Selatan, Lie In Gwan dikenal sebagai agen minyak. Mereka menjadi bagian dari denyut ekonomi kota.
Pada rentang 1920 hingga 1970-an, kawasan ini hidup nyaris tanpa jeda. Aktivitas dimulai sejak subuh hingga larut malam.
Etos kerja keras mengakar kuat. Datang sebelum matahari terbit, pulang setelah matahari terbenam.
Kawasan ini juga pernah menjadi ruang sosial unik. Sekitar 1950–1970-an, di depan makam Tan Sam Tjay hadir seorang ahli ramal.
Warga dari berbagai daerah datang mencari petunjuk nasib. Sungai dan jalan sekitarnya menjadi simpul pertemuan sosial.
Sejarah Sukalila-Kalibaru juga mencatat ketangguhan menghadapi krisis. Wabah flu Spanyol, malaria 1927–1933, Perang Dunia II, hingga pajak kolonial yang mencekik.