KEJAKSAN– Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2014 kemungkinan tanpa menyertakan pembagian kuota. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pendidikan tidak boleh ada diskriminasi. Pembagian kuota merupakan bagian dari bentuk diskriminasi pendidikan. Hal ini disampaikan Wakil Wali Kota Cirebon Drs Nasrudin Azis SH. Azis menjelaskan, pembahasan PPDB masih terus berlanjut hingga saat ini. Menurutnya, PPDB tahun ini tetap menggunakan sistem online dan pemegang kunci PPDB akan diatur dalam peraturan terkait. “Masih banyak kesamaan dengan tahun lalu. menggunakan sistem online. Perbedaan pada pembagian kuota saja,” terangnya. Menurut Azis, dalam UU Sisdiknas tidak mengenal istilah diskriminasi pendidikan. Karena itu, siapapun boleh bersekolah di Kota Cirebon. Baik warga dalam kota maupun luar kota. Atas pertimbangan itu, Azis menilai pentingnya aturan tersebut dijadikan pertimbangan dalam pembahasan Peraturan Wali Kota (Perwali) tentang PPDB tahun 2014 ini. “Pemikiran pendidikan tanpa diskriminasi menjadi dasar dan alasan dinas pendidikan tidak menggunakan kuota 90 persen untuk warga kota dan 10 persen luar kota,” paparnya. Jika diterapkan tahun ini, perubahan mendasar terjadi dibandingkan PPDB pada tahun 2013 lalu. UU Sisdiknas, menjadi dasar penting dalam pertimbangan penghapusan pembagian kuota. Jika dalam Perwali PPDB tertulis pembagian kuota 90-10 persen lagi, misalnya, hal itu, kata Azis, sama dengan menggunakan sistem diskriminasi pendidikan. Dengan demikian, aturan Perwali akan bertentangan dengan UU Sisdiknas tersebut. “Ada atau tidaknya masih dalam pembahasan rapat tim. Sekda memimpin langsung rapat-rapat pembahasan perwali PPDB,” tukas pria yang pernah menjabat ketua DPRD Kota Cirebon itu. Meskipun demikian, Azis menekankan pada prinsip tetap mendahulukan dan memprioritaskan warga Kota Cirebon. Namun, memprioritaskan warga kota bukan dalam arti melakukan aksi titip menitip. Azis mencontohkan, jika ada dua peserta yang akan menempati satu kursi. Maka salah satu dari mereka harus gugur. Sementara, syarat minimal nilai 8, misalnya, dan kedua peserta itu memenuhi seluruh syarat. Menjadi pembeda pada domisili asal. Satu warga Kota Cirebon dan satunya luar kota. Maka, warga Kota Cirebon yang diambil untuk satu kursi tersebut. “Hal ini wajar. Itu yang dimaksud memprioritaskan warga kota,” simpulnya. Sebelumnya, guru besar hukum Unswagati Prof DR Ibnu Artadi SH MHum mengatakan, pembagian kuota dalam PPDB tahun 2013 lalu merupakan kebijakan politis yang menjadi diskriminasi pendidikan. Karena itu, menghapus pembagian siswa luar kota dan dalam kota menjadi keharusan bagi disdik dan pemkot. Selama ini, Ibnu Artadi menilai pelaksanaan PPDB di Kota Cirebon penuh dengan kebijakan politis. Padahal, dunia pendidikan tidak boleh dicampuradukan dengan politik. “Kuota 90-10 persen itu diskriminasi,” tegasnya kepada Radar, beberapa hari lalu. Dalam perjalanan PPDB tahun 2013, Ibnu Artadi menilai pemberlakuan kuota 90 persen untuk warga kota dan 10 persen luar kota, merupakan bentuk diskriminasi dan pengkotak-kotakan pendidikan. Menurut pria yang mendapat gelar doktor bidang hukum pidana pada Universitas Diponegoro Semarang itu, pendidikan merupakan kebijakan yang tetap diatur pemerintah pusat. Bahkan, Ibnu Artadi menegaskan Perwali PPDB yang mengatur pembagian kuota bertentangan dengan UUD 45. “Pembagian kuota bisa diajukan tuntutan pidana, perdata, dan administrasi negara,” terangnya. (ysf)
Kuota PPDB Dianggap Tidak Tepat
Rabu 21-05-2014,12:00 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :