Kontrak Geothermal Capai 50 Tahun

Jumat 13-06-2014,14:45 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

KUNINGAN – Kontrak pertambangan panas bumi (geothermal) di lereng Gunung Ciremai, ternyata berlangsung cukup lama. Setelah melalui proses uji kelayakan, eksploitasi geothermal akan dilaksanakan selama 50 tahun. Keterangan ini disampaikan salah seorang pejabat ESDM Provinsi Jabar, Tubagus Nugraha saat menghadiri acara Kunci Bersama di Kuningan, baru-baru ini. Kepada sejumlah awak media, Tubagus menjelaskan seputar rencana mega proyek geothermal di Kuningan. Dia menyebutkan, perizinannya masih dalam proses. Namun pada Desember 2014 nanti, ditargetkan semuanya selesai. “Setelah izin keluar, pihak pengembang akan diberikan waktu eksplorasi selama tiga tahun. Kemudian diperpanjang satu tahun dan tambahan perpanjangan satu tahun,” terang pria berkacamata itu. Setelah eksplorasi selesai, pemerintah akan melakukan studi kelayakan selama dua tahun. Jika hasilnya berjalan baik tanpa masalah, maka akan diberizin izin masa eksploitasi selama 50 tahun. Izin pertama 30 tahun yang bisa diperpanjang selama 20 tahun. “Nah, kalau pada masa-masa awal mulai dari masa eksplorasi hingga studi kelayakan yaitu tujuh tahun tidak lolos studi kelayakan, maka izin usaha pertambangan (IUP) dapat ditarik lagi dan eksploitasi geothermal dapat dihentikan,” jelasnya. Diakuinya, proses perizinan geothermal di lereng Gunung tertinggi di Jawa Barat itu, belum mencapai final. Rangkaiannya baru sampai tahap penetapan pemenang, yakni PT Chevron. Sekarang ini Chevron baru melakukan negosiasi dengan BUMD. “Terkait waktu perizinan harus selsai pada Desember 2014, artinya proyek ini akan tetap jalan,” tegasnya. Jika ada pihak yang kontra selama proses perizinan berjalan, Tubagus menjelaskan mekanismenya. Yaitu dengan cara melakukan sharing informasi dan diskusi. Disinggung soal isu pencaplokan lahan seluas 24 ribu hektare, Tubagus menegaskan, kabar tersebut kurang tepat. Yang dibutuhkan hanya kisaran 0,8 persen sampai 3 persen saja dari WKP. Lahan tersebut untuk instalasi sumur, pipa dan lahan produksi seperti pembangkit dan coling power. Ia mencontohkan proyek geothermal di Gunung Salak, kawasan Drajat yang memiliki luas WKP lima ribu hektare. Untuk lahan produksi hanya terpakai sekitar 1,18 persen. Di sana, imbuh dia, dapat menghasilkan listrik mencapai 110 mega watt sampai 350 mega watt. Pada saat itu, Tubagus berbicara soal keuntungan yang bisa diperoleh Kuningan jika mega proyek geothermal berjalan baik. Menurutnya, secara tidak langsung masyarakat sekitar dan daerah akan mendapatkan dana CSR (Corporate Sosial Resource). “Adapun pendapatan lainnya, dari pusat, provinsi dan daerah akan merasakan dari Sumber pendapatan yang berasal dari PNBP (pendapatan negara bukan pajak), yang berasal dari pemungutan negara dari iuran tetap,” sebutnya. Lebih rinci, pendapatan yang akan diperoleh dari geothermal, negara akan mendapat dua dolar dari WKP yang dimiliki daerah tersebut. Atau dengan total 24 ribu hektare di Kuningan, maka setiap tahun negara akan mendapat 48 ribu dollar setiap tahun, pada masa eksplorasi. “Nah, kalau pada masa eksploitasi dengan luas lahan yang sudah berkurang, maka pengembang berkewajiban membayar empat dolar per hektare dari WKP yang dipakai, atau membayar maksimal untuk lokasi 10 ribu hektare,” ungkapnya. Dengan total pendapatan tersebut, maka dari keuntungan kotor dikurangi biaya-biaya lalu menjadi keuntungan bersih, 64 persen pengembang dan 34 persen untuk pemerintah dikurangi pajak. Ini apabila mengikuti aturan pada dua lokasi geothermal yang sudah berjalan seperti Kamojang dan Drajat. “Dari 34 persen nantinya dibagi 20 persen ke pusat, 80 persen ke daerah dan provinsi. Dari 80 persen jatah ke Provinsi dan daerah, dibagi kembali 16 persen untuk provinsi, 62 kabupaten penghasil, dan sisanya 22 persen untuk kabupaten yang berada di provinsi sekitarnya,” jelas Tubagus. UJANG TAK SETUJU DIBENTUK PANSUS SEBELUM JELAS Sementara itu, pernyataan politisi Golkar, Oyo Sukarya SE MMPub seolah mendapat dukungan dari politisi PKB, Drs H Ujang Kosasih MSi. Dia pun tidak setuju jika dilakukan pembentukan pansus geothermal. Sebab menurutnya, duduk perkara rencana pertambangan geothermal belum jelas. “Masalahnya apa dulu, kan belum jelas. Kita cari kejelasan dulu sebelum sampai ke tingkat pansus,” kata Ujang yang menjabat ketua DPC PKB Kuningan itu, kemarin (12/6). Ia lebih sepakat jika pembahasan geothermal dilaksanakan di komisi terlebih dulu. Lantaran hal itu berusuan antar pemerintah, maka lebih pantas jika dibahas di komisi A. “Persoalan ini kan G to G, yakni Pemprov Jabar dan Pemkab Kuningan. Jadi saya kira lebih dibaik dibahas dulu di komisi A, baru kemudian ditindaklanjuti,” usul politisi yang juga salah satu anggota komisi A tersebut. Jika pimpinan dewan memberikan mandat, Ujang yakin komisi A bakal siap. Baik dengan mengorek keterangan dari Kementerian ESDM maupun DSDAP provinsi. Namun semuanya tergantung dari pimpinan dewan. Diakuinya, dalam menyikapi masalah ini semua pihak harus segera mengambil langkah. Pimpinan DPRD pun mestinya segera menugaskan alat kelengkapan dewan dalam mengupas informasi berkenaan dengan geothermal. “Saya kira alat kelengkapan yang kompeten ialah komisi A. Karena ini G to G. Nanti kita pinta kejelasan dari ESDM dan provinsi yang dilanjutkan dengan menyampaikannya ke masyarakat,” tandasnya. Kalau ternyata hasilnya lebih banyak madarat, dirinya sepakat untuk menolak renacana pertambangan geothermal. Dengan berterus terang, dia pun selaku wakil rakyat belum tahu persis seputar rencana pertambangan geothermal. Soal dana sosialisasi sekitar Rp650 juta, Ujang membenarkan sudah teralokasi. Namun dalam pelaksanaannya ia mengarahkan agar menanyakan ke DSDAP Kuningan selaku leading sector. “Saya hanya menyikapi pertanyaan masyarakat terkait kejelasan proyek geothermal. Memang sosialisasinya kurang. Kalau masalah anggaran sosialisasi dulu, silakan ke DSDAP,” ucapnya. (ded)

Tags :
Kategori :

Terkait