Deteksi Rekap Suara Bermasalah

Jumat 11-07-2014,15:11 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

JAKARTA - Proses rekapitulasi suara pemilu presiden (Pilpres) 2014 dinilai rawan manipulasi dan masalah. Karena keterbatasan tenaga, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meminta masyarakat ikut turut serta mendeteksi masalah dalam rekapitulasi suara dari tempat pemungutan suara (TPS) hingga rekapitulasi suara tingkat nasional. Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay menuturkan, masyarakat harus memiliki pemahaman untuk bisa mendeteksi adanya masalah, baik manipulasi atau keteledoran dari petugas panitia pemungutan suara (PPS) hingga KPU. \"Peran masyarakat mengawal suara ini menjadi penting,\" jelasnya. Caranya, sebenarnya cukup mudah, masayrakat harus memiliki data suara dari tingkat TPS. Jadi, dalam tingkat TPS tersebut, suara dari kedua pasangan calon itu diumumkan dengan memasang formulir hasil. \"Catat pasangan nomor urut satu dapat berapa dan nomor urut dua dapat berapa,\" ungkapnya. Lalu, lanjut dia, pada rekapitulasi suara tahap kelurahan atau desa yang dijadwalkan dari 10 Juli hingga 12 Juli, masyarakat diharapkan untuk datang. Dengan membawa bekal catatan hasil suara TPS tersebut, ikuti proses rekapitulasi suara. \"Saat sampai ke penghitungan suara di TPS yang dimaksud, maka dengarkan dengan seksama apakah angka yang disebut itu tepat sesuai catatan,\" ungkapnya. Jika terjadi perbedaan angka, maka masyarakat bisa meminta kesalahan itu dikoreksi. Caranya, tidak dengan langsung menghentikan proses rekapitulasi. Dia mengatakan, KPU telah mengatur jalur untuk melakukan koreksi, yakni dengan cara memberitahukannya ke saksi-saksi dari kedua pasangan calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres). \"Saksi-saksi ini yang memiliki hak bicara dalam rekapitulasi suara ini,\" ujarnya. Kalau ternyata tidak menemukan adanya saksi saat rekapitulasi suara, maka ada pengawas lapangan untuk tingkat desa dan panitia pengawas kecamatan (Panwascam) untuk tingkat kecamatan. \"Laporkan masalahnya, tunjukan buktinya dan panwascam yang akan bergerak untuk mengoreksi kesalahan atau menindaklanjuti jika itu dugaan manipulasi suara,\" tuturnya. Jalan terakhir, jika memang tidak mengetahui adanya saksi atau panwascam, maka dengan terpaksa masyarakat bisa melakukan interupsi. Sehingga, petugas bisa mengetahui jika sebenarnya ada yang merasa tidak beres. \"Langsung interupsi saja, siapa tau petugas KPUnya memberikan waktu,\" paparnya. Selain itu, lanjut dia, masyarakat juga harus mengetahui sifat dari rekapitulasi suara. Seharusnya, rekapitulasi suara itu bersifat terbuka. Artinya, jika memang ada rekapitulasi suara yang tertutup untuk umum atau malahan digelar di sebuah hotel. Maka, masyarakat perlu untuk mencurigainya. \"Kalau masalah seperti ini langsung lapor ke panwascam atau ke Bawaslu,\" jelasnya saat ditemui di kantor KPU lantai 2. Kalau ingin lebih total, maka masyarakat bisa mencatat semua hasil rekapitulasi suara dari tahap TPS hingga ke Nasional. Dia mengatakan, dalam setiap rekapitulasi berjenjang itu selalu diumumkan hasilnya dalam sebuah kertas pengumuman. \"Catat atau foto hasil tersebut, dan kawal hingga tingkat tertinggi di nasional pada 20 Juli-22 Juli,\" paparnya. Sementara itu, anggota KPU Sigit Pamungkas menuturkan, dalam proses rekapitulasi itu terkadang angka yang disebutkan dengan angka yang ditulis itu bisa berbeda. Maka, masyarakat bisa mengawasi kecocokannya itu. \"Jangan sampai apa yang disebut berbeda dengan yang ditulis, ini yang kerap terjadi,\" jelasnya. Bagian lain, Ketua Bawaslu Muhammad menuturkan, dalam proses rekapitulasi itu yang paling rawan masalah dan manipulasi itu pada tingkat desa atau kelurahan, serat tingkat kecamatan. Biasanya, hal itu dikarenakan adanya godaan atau malah intimidasi dari kekuatan tertentu yang ingin memenangkan salah satu pasangan calon. \"Proses ini yang harus lebih ketat dipantau,\" kata Muhammad. Untuk rekapitulasi tahap kota atau kabupaten, bisanya sudah banyak yang ikut mengawasi. Dia mengatakan, tingkat kota atau kabupaten memang rawan, tapi tidak seberat di desa atau kelurahan, serta kecamatan. Rekap di kota masih cenderung lebih aman,\" ujarnya ditemui di setelah konferensi pers di kantor KPU lantai 2. Untuk mengawasi lebih ketat, dia menuturkan jika KPU dan Bawaslu telah bersepakat untuk turun langsung mengawasi rekapitulasi dari tingkat desa atau kelurahan hingga provinsi. Komisioner KPU dan Bawaslu akan dibagi untuk memantau jalannya pengumpulan suara di berbagai daerah tersebut. \"Daerah yang paling rawan tentu akan diawasi, tapi tidak perlu disebut dimana,\" jelasnya. Cara lain yang dilakukan Bawaslu adalah mengkaji bagaimana pemahaman petugas dari PPS, PPK, dan KPU dalam menjalankan tugasnya merekapitulasi suara. Bahkan, para saksi juga diikut diteliti. Salah satunya, memastikan pakah petugas mengetahui perbedaan surat suara yang sah dan tidak sah, lalu bagaimana hologram formulir yang benar. \"Untuk ini, ternyata pemahaman petugas dan saksi sudah cukup bagus,\" tuturnya. Proses rekapitulasi menjadi lebih mengkhawatirkan dengan minimnya waktu yang ada. Jadi, rekapitulasi suara dalam pilpres 2014 ini hanya memiliki waktu 12 hari dari 10 Juli hingga 22 Juli. Jauh sekali jika dibandingkan dengan waktu rekapitulasi suara pada pemilu legislatif (Pileg) yang punya waktu sekitar sebulan. \"Waktu yang minim ini tentu bisa menimbulkan keteledoran,\" jelasnya. Ketua KPU Husni Kamil Manik menambahkan, pihaknya telah menggelar rapat dengan Bawaslu yang menghasilkan sejumlah kesepakatan, di antaranya monitoring nasional dan penyelesaian masalah ada pada masing-masing tahapan. Jadi, lanjut dia, selain komisioner kedua lembaga penyelenggara pemilu itu turun memantau rekapitulasi, pihaknya menginstruksikan pada setiap KPU kota atau kabupaten untuk menyelesaikan masalah rekapitulasi suara pada setiap tahap. Misalnya, ada masalah rekapitulasi suara pada tahap desa atau kelurahan. Masalah itu jangan dibawa ke tingkat kecamatan, tapi selesaikan dulu di desa dan kelurahan. \"Jangan sampai menjadi PR untuk tingkat selanjutnya, ini agar mengefisiensikan proses rekapitulasi yang hanya 12 hari,\" tuturnya. Sementara itu, kemarin sejumlah perwakilan LSM yang menamakan dirinya Koalisi Melawan Lupa mendatangi Mabes Polri. Mereka menemui Wakapolri Komjen Badrodin Haiti untuk meminta jaminan pengamanan perhitungan suara sejak dari level PPS hingga ke KPU Pusat. Usai pertemuan tertutup selama satu jam, Koordinator LSM Kontras Haris Azhar yang memimpin rombongan menyatakan jika semua aspirasi telah disampaikan kepada Wakapolri. \"Kami minta pada polisi untuk mengamankan hasil pilpres di ruang-ruang yang kami anggap zona abu-abu, yakni kelurahan, kecamatan, dan lain-lain,\" terangnya. Terutama, menjaga petugas-petugas yang rawan mendapatkan intimidasi dari pihak tertentu untuk mengubah hasil pemilu. Haris mengungkapkan, pihaknya mendapat laporan jika sejumlah kepala daerah mengintimidasi petugas-petugas pilpres di level lokal. Rencananya, hari ini pihaknya akan ke KPU, Bawaslu, dan Kemendagri untuk menuntut hal serupa. \"Karena kelurahan, kecamatan, berada di bawah kontrol Kemendagri, mereka harus kita ingatkan,\" tambahnya. Hal senada disampaikan aktivis ICW Abdullah Dahlan. Menurut dia, partisipasi politik dalam pemilu kali tergolong tinggi. Rata-rata di atas 70 persen, bahkan di beberpaa daerah berkisar 80-90 persen. \"Karena itu, pergerakan kotak suara menjadi titik rawan yang patut diawasi,\" ujarnya. (idr/byu)

Tags :
Kategori :

Terkait