CIREBON - Penunjukkan kepala daerah sebagai ketua pemenangan pasangan calon presiden dan wakil presiden, rupanya tidak begitu mempengaruhi pada perolehan suara capres dan cawapres. Terbukti, untuk Kota Cirebon, ketua tim pemenangan merah putih yang dijabat Wali Kota Cirebon, Drs Ano Sutrisno MM belum mampu membawa pasangan Prabowo-Hatta meraih suara maksimal di Kota Cirebon. Padahal, wakil wali kotanya, Drs Nasrudin Azis SH merupakan Ketua DPC Partai Demokrat yang juga secara kepartaian mengusung Praboowo-Hatta. Selain Ano, contoh lain juga bisa dilihat di Kuningan, Majalengka, maupun Indramayu. Kuningan dan Majalengka yang bupatinya sama-sama dari PDIP, ternyata suara perolehan capres-cawapres Jokowi-JK kalah dari Prabowo-Hatta. Begitu juga di Indramayu, meski bupatinya dari Golkar yang merupakan pendukung Prabowo-Hatta, namun justru Jokowi-JK menang meyakinkan. Mendapati fakta seperti itu, pengamat kebijakan publik, Drs Moh Taufik Hidayat MSi mengatakan, kepala daerah dalam hal ini berada di posisi dilematis. Pasalnya, dari sisi politis, wali kota maupun bupati memang memiliki partai pengusung. Secara politis, pihaknya memang harus mematuhi fatsun partai. Namun, secara pemerintahan, kepala daerah merupakan kepala daerah adalah milik seluruh masyarakat. “Sehingga di sini para kepala daerah yang juga ditunjuk sebagai ketua tim pemenangan kurang all out. Mereka setengah hati, karena di satu sisi mereka milik rakyat, bukan hanya satu partai, tapi secara politis, mereka juga mempunyai tanggung jawab,” tuturnya. Taufik mengatakan, alangkah lebih baiknya bila ketua tim pemenangan bukan berasal dari kepala daerah. Karena hal ini rawan untuk dijadikan penyimpangan. Mulai dari penyimpangan kebijakan untuk mengarahkan pemilih ataupun penyimpangan anggaran. “Yang berbahaya kalau sudah menggunakan kuasanya sebagai kepala daerah,” tukasnya. Sementara itu, akademisi lainnya, Sigit Gunawan SH MKn mengatakan suara partai saat pemilihan kepala daerah tidak dapat memberikan jaminan yang kuat untuk memberikan suara yang besar pada pelaksanaan pilpres. Dikatakan Sigit, calon apapun yang didukung dengan koalisi partai yang besar, tidak memiliki jaminan yang kuat untuk dapat mendulang suara yang besar juga. “Pemenangan pada proses pilpres dibutuhkan kesolidan dari tim sukses. Mereka harus all out,” tuturnya. Ketika sebuah tim pemenangan diketuai oleh kepala daerah, dan dia mengondisikan suara yang ada di daerahnya, mungkin saja masyarakat menyadari penggiringan suara itu. Hal itu justru akhirnya akan menjadi blunder dan membuat masyarakat tidak mempercayai kampanye yang dilakukan. Sehingga pada akhirnya, masyarakat tetap akan memilih dengan hati nurani sendiri sesuai dengan kekaguman terhadap seorang calon presiden. “Jadi memang ditunjuknya kepala daerah menjadi ketua tim pemenangan tidak menjadi akan membuat kemenangan di daerah tersebut. Memang ada efeknya, tapi tidak menjamin calon yang didukung kepala daerah itu akan menang,” tukasnya. Terpisah, pengamat sosial politik, Adi Rahmat Hidayat ST merasa heran atas kemenangan Prabowo-Hatta di daerah-daerah yang kepala daerahnya berasal dari partai pengusung Jokowi-JK. Seperti di Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka. “Kita tahu betul kalau kepala daerah di Kuningan dan Majalengka itu berasal dari PDIP yang notabene pengusung Jokowi-JK. Tapi kenapa kok justru yang menang itu paslon di luar partainya,” kata Adi. Yang sangat membuatnya merasa heran, fenomena yang terjadi di TPS 1 Kelurahan Winduhaji, Kecamatan Kuningan, yang merupakan tempat tinggal bupati. Seharusnya, TPS tersebut dimenangkan pasangan Jokowi-JK, namun fakta berbicara justru paslon nomor 2 tersebut terkalahkan. “Tampaknya fenomena ini menarik untuk dianalisis, kenapa bisa seperti itu? Apakah masyarakat sudah tidak mau lagi manut kepada pimpinan daerahnya atau gimana? Biasanya, warga itu nurut pada pilihan tokoh terdekatnya,” ujar Adi seraya mengernyitkan dahi. Sementara, menanggapi kurang maksimalnya perolehan suara Jokowi-JK di Majalengka, juru bicara tim pemenangan Jokowi-JK Majalengka H Surahman SSos menyebutkan, hal ini dipengaruhi oleh berhembusnya tudingan penghapusan sertifikasi yang akan dilakukan Jokowi. “Penyebabnya mungkin yang pertama, terkait sudah kadung menyebarkan isu yang menyebut Jokowi mau menghapuskan sertifikasi. Hal ini jelas berpengaruh besar terhadap suara para guru yang mulai terombang-ambing pendiriannya. Sehingga banyak potensi suara dari para guru dan praktisi pendidikan yang lepas,” tuturnya. Alasan lainnya, kata Surahman, adalah gencarnya pemberitaan fitnah negatif kepada Jokowi melalui tabloid provokatif, seperti halnya Obor Rakyat, maupun di media jejaring sosial yang keakuratan beritanya dipertanyakan. (kmg/ded/azs)
Empat Kepala Daerah Tak Mampu Amankan Capres yang Diusung
Sabtu 12-07-2014,14:38 WIB
Editor : Dedi Darmawan
Kategori :