Ketika Kota Berebut Tua

Senin 03-11-2014,09:00 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

HARI ulang tahun merupakan hari beresjearah yang tidak saja menarik untuk dikenang dan diperingati. Kita terbiasa mendengar anak cucu merayakan hari ulang tahun dengan mengundang teman-temannya. Pesta ulang tahun pun diadakan di rumah makan, di rumah, maupun di tempat lain sesuai selera dan kemampuan keuangan pelaksana ulang tahun. Di media sosial pun, hari ulang tahun (HUT) seorang kawan biasa menjadi perhatian, sehingga ucapan selamat HUT pun menghiasi dinding media sosial setiap hari. Bahwa ulang tahun merupakan refleksi perjalanan seseorang menapaki jalan kehidupan, saya pikir sah saja. Dalam skala lebih besar, sebuah kota/ kabupaten yang memperingati HUT kelahirannya menjadikan kita semakin mahfum tentang adanya pergerakan sosial budaya yang menjadi parameter keberhasilan upaya memajukan daerah. Keberhasilan yang diperlihatkan tidak sekadar melalui catatan, grafik, tabulasi, survey dan sebagainya. Melainkan diperlihatkan secara langsung oleh penghuni kota/ kabupaten yang berulang tahun itu. Kemajuan di bidang ekonomi, sosial dan budaya penghuni kota/ kabupaten yang berulang tahun harus benar-benar ada dan dirasakan oleh masyarakat. Jikalau HUT kota/ kabupaten semarak dengan berbagai pentas kesenian tradisi, pameran pembangunan, pameran kerajinan rakyat, seremoni sejumlah pejabat daerah di gedung pemerintahan, pengajian dan dakwah kerohanian di rumah-rumah ibadah –hal itu dapat dicitrakan sebagai bentuk kegembiraan masyarakat. Pemda bertindak sebagai fasilitator dan penyedia dana kegiatan HUT. Namun demikian manakala HUT kota/ kabupaten selesai sampai di situ saja, tanpa adanya kesungguhan membangun kota dengan segenap kemampuan dari dan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, maka boleh dibilang pemda gagal melaksanakan tugasnya. Kegagalan dimaksud berawal dari banyaknya persoalan masyarakat penghuni kota yang masih belum merasakan keberhasilan pembangunan daerah yang telah dicapai. Sebagaimana kita maklumi, masyarakat kebanyakan hanya menikmati sebagian kecil kue pembangunan. Pun kecilnya alokasi pos APBD bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat lantaran alokasinya membengkak bagi keperluan biaya rutin. Di samping itu hak masyarakat untuk tahu tentang rincian penggunaan APBD masih belum dilaksanakan secara transparan. Yang ada bahkan kekeliruan penggunaan anggaran dan menimbulkan berbagai tindak manipulatif serta koruptif. Kegagalan yang menohok itu sejatinya tidak terjadi seandainya fungsi pemda sebagai administatur dan penyedia/pelayan publik terlaksana dengan baik. Pemda dengan segala sistem perundangan (mencakup perda, pergub, perwali, perbup, surat keputusan dan lain-lain) bukanlah untuk memaksakan keinginan kepada masyarakatnya. Dalam arti lain, sistem perundangan yang ada seyogianya harus memberikan iklim kondusif bagi rasa nyaman berusaha bagi terciptanya indeks prestasi manusia penghuni kota tersebut. Bila sistem perundangan yang ada dan telah diundangkan itu dimaknai oleh sebagian masyarakat sebagai alat penindas, maka kian lengkaplah kegagalan pemda membangun masyarakatnya. Tanpa mesti merinci berbagai kendala yang gagal dikendalikan pemda, pelbagai masalah krusial pasti terjadi. Akumulasi masalah krusial itu sebenarnya dipamahi oleh pemda setempat. Akan tetapi pemda kerap kelimpungan serta (lagi-lagi) kerap berapologi menyangkut kegagalan yang telah dilakukannya. Uniknya semakin dikatakan gagal, pemda semakin kuat pula melakukan proteksi yang membingkai kebijakan tersebut. TAMPAK LUAR HUT kota/ kabupaten sebaiknya menjadikan momentum untuk refleksi tingkat keberhasilan pembangunan masyarakat. Tingkat keberhasilan itu bukan diperlihatkan dengan banyaknya jumlah bangunan bergengsi dengan harga menjulang. Juga bukan dengan penambahan fasilitas kerja para birokratnya. Inklud di sini bukan dengan pengalihan isu untuk menjauhkan masyarakat dari persoalan krusial menyoal pencapaian kesejahteraan bersama. Merujuk kemajuan dan capaian kesejehteraan masyarakat, berulang dapat kita temui pada contoh keberhasilan pemda lain melaksanakan tugas dan pengabdian demi masyarakatnya. Surabaya yang berhasil menjadi hijau tidak merangsang pemda meniru pola/ konsep penghijauan kota. Surakarta yang ditengarai sukses dalam hal data base kependudukan juga tidak sesegera mungkin dicobaterapkan. Jepara yang berhasil dengan ketiadaan para pedagang di seluruh trotoarnya, pun tidak dikategorikan sebagai tujuan kunjungan kerja. Dan masih banyak konsep keberhasilan kota/ kabupaten lain di Indonesia yang dapat dengan mudah dipelajari melalui cara paling singkat, klik google. Ketika kota hanya berebut usia tua ketika itu pula melahirkan kebanggaan semu yang dibingkai dengan ketuaannya. Celakanya apabila usia kota ditentukan bukan merujuk kepada tahun mula-mula terbentuknya kota sebagaimana diseragamkan oleh pemerintah kolonial/ Belanda yakni tahun 1906. Ketika kota hanya berebut usia dengan asumsi semakin tua semakin memperlihatkan genealogi (silsilah) sambil berharap beberapa kota lain sekitarnya merupakan anak keturunan, maka jangankan membicarakan berbagai permasalahan krusial yang melibatkan hajat hidup orang banyak. Kota yang berulang tahun itu sekadar sibuk mematut diri, menampakkan performance dengan melupakan substansi. Dengan kata lain apabila hanya berebut usia tua maka kota tertua adalah kota yang kali pertama dibangun manusia purba di berbagai belahan bumi, dan keberadaannya telah tiada lantaran habis dimakan jaman. Maka HUT kota sebaiknya dimaknakan sebagai pelengkap utama tampak luarnya. Berbagai bangunan mentereng yang ada pada sebuah kota harus berhasil mengangkat citra manusianya. Bangunan-bangunan sebagai ciri peradaban itu tidak memiliki makna apa-apa seandainya tidak berhasil menebar kesejahteraan penghuninya. Sebaliknya kemajuan dan peningkatan kesejahteraan penghuni kota/ kabupaten harus merupakan tali temali yang saling mengikat dengan peradaban yang berkembang di kota tersebut. Makna yang dapat diambil atas peringatan HUT kota sesungguhnya terletak pada kiprah sungguh-sungguh aparatus daerah memajukan kesejahteraan umum. Di luar itu hanyalah pelengkap yang bernama tampak luar. (*) *) Penulis lepas, tinggal di Cirebon

Tags :
Kategori :

Terkait