JAKARTA – Kebijakan baru tentang bahan bakar minyak (BBM) membuka kran bisnis distribusi bensin lebar-lebar. Namun, Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) merasa kebijakan itu bisa menjadi bumerang dan membuat pengusaha lokal mati. Mereka berharap pemerintah bisa memberikan proteksi. Ketua II DPP Hiswana Migas M Ismet saat dihubungi kemarin mengatakan tidak ada masalah dengan sistem baru penetapan harga. Termasuk dihilangkannya subsidi pada Premium dan penurunan harga yang sudah terjadi sejak Kamis (1/1). ’’Yang jadi masalah justru Premium bisa dilepas ke SPBU asing,’’ ujarnya. Itu didasarkan pada prinsip dasar penetapan harga BBM yang disampaikan Kementerian ESDM saat mengumumkan harga baru Premium, solar, dan minyak tanah di Kemenko Perekonomian. Dikatakan bahwa pemerintah mendorong persaingan sehat antar daerah maupun pelaku bisnis. Area yang diperbolehkan adalah Jawa, Madura, dan Bali (Jamali). ’’Kalau ingin fair, mereka (SPBU asing) juga buka di daerah pelosok. Jangan di Jamali,’’ keluhnya. Saat ini, SPBU asing seperti Shell maupun Total memang belum menjual bensin sekelas Premium atau RON 88. Tapi, sikap pemerintah membuat mereka memikirkan cara untuk ikut berjualan. Logika yang digunakan Ismet, pasar RON 92 atau sekelas Pertamax yang sedikit saja membuat mereka berani masuk Indonesia. Dibukanya pintu menjual produk sekelas Premium pasti akan diambil juga. Padahal, Hiswana Migas mengakui kalau para pengusaha sebenarnya belum siap head to head dengan SPBU asing untuk RON 88. Oleh sebab itu, secara resmi pihaknya akan meminta kepada pemerintah untuk memberi perlindungan. Tidak untuk semua produk, melainkan hanya proteksi pada penjualan Premium. ’’Kita nggak minta dilindungi 100 persen. Untuk Pertamax misalnya, kita sudah head to head,’’ terangnya. Hiswana Migas saat ini makin gelisah karena SPBU asing menyambut baik kebijakan itu. Berarti, besar kemungkinan SPBU asing berminat untuk ikut ambil bagian dalam menjual bensin dengan oktan rendah. Kalau itu terjadi, dia khawatir peminat warga untuk mengisi bahan bakar di SPBU lokal menjadi turun. ’’Mereka lebih unggul, secara finansial juga lebih kuat,’’ tuturnya. Momen liberalisasi ini disebutnya sudah ditunggu oleh SPBU asing. Saat disinggung bahwa pemerintah memerintahkan Pertamina untuk menghilangkan Premium dalam dua tahun, Ismet mengatakan itu tidak membuat Hiswana Migas boleh dilepas. Sebab, dalam kurun dua tahun itu bisa menjadi mimpi buruk bagi pengusaha lokal selama berbisnis bensin. Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina, Ahmad Bambang mengatakan itu memang menjadi dampak dari kebijakan baru. Pengusaha SPBU di Jamali memang ketar-ketir dibanding yang berada di luar tiga wilayah itu. ’’Di luar Jawa tidak boleh, karena ada penugasan terhadap Pertamina,’’ terangnya. Dia tahu, banyak yang menganggap keputusan tidak bolehnya SPBU asing menyerbu merupakan sikap tidak adil dan merugikan. Tapi, Ahmad Bambang menganggap kebijakan itu baik bagi Pertamina meski tidak boleh mengambil untung banyak. ’’Kita, kalau ditugasi nggak harus ambil untung. Masih nggak rugi aja bagus,’’ katanya. Untuk penjualan bahan bakar di Jamali, pemerintah memperbolehkan Pertamina untuk mengambil untung lebih besar. Marginnya, di rentang 5 persen sampai 10 persen. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Sofyan Djalil menambahkan, meski SPBU asing boleh menjual RON 88, ada aturan yang harus dipatuhi. Pemerintah disebutnya tidak melepas begitu saja dan menerapkan harga batas atas dan batas bawah. Pemerintah juga menetapkan harga dasar yang akan dijual. ’’SPBU asing boleh jual RON 88 karena harga sekarang sesuai keekonomian. Tapi, akan kita tentukan harganya beserta batas atas dan bawahnya,’’ jelasnya. Menanggapi ketakukan Hiswana Migas, Tim Reformasi Tata Kelola Migas (RTKM) yang mengusulkan penghapusan RON 88 menegaskan nanti ada aturan baru. Pemerintah bisa memberikan batasan-batasan tertentu yang membuat SPBU asing tidak gampang menjamur atau lebih superior dari pengusaha lokal. ’’Bisa dibuat lebih ketat. Atau, kalau perlu tiap SPBU asing punya tangki dan kilang di Indonesia,’’ tegas Faisal Basri, Ketua Tim RTKM. Dia menampik kalau kebijakan yang keluar ditumpangi kepentingan asing. Apa yang dilakukan tim, menurut Faisal, untuk kepentingan rakyat Indonesia. DPR menilai kebijakan turunnya harga BBM bersubsidi itu sedikit terlambat. Wakil Ketua Komisi XI DPR Marwan Cik Hasan menilai seharusnya penurunan harga BBM bersubsidi sudah dilakukan pemerintah sejak sebulan lalu. ”Kita menyambut baik turunnya harga premium dan solar bersubsidi, meskipun agak terlambat,” kata Marwan dalam keterangannya. (dim/bay)
Hiswana Migas Minta Proteksi RON 88
Minggu 04-01-2015,09:00 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :