JAKARTA- Lion Air Group terindikasi menghadapi persoalan internal serius, bahkan bisa lebih serius dibandingkan dampak yang diakibatkan sejumlah delay dan pembatalan jadwal penerbangan yang menimbulkan kericuhan di bandara, terutama bandara Soekarno Hatta. Maskapai yang didirikan Rusdi Kirana itu menghadapi persoalan keuangan. Lion Air disebut-sebut mengalami kerugian finansial sehingga dikhawatirkan akan bangkrut. Indikatornya karena sejumlah pesawat belum boleh digunakan karena belum membayar uang sewa. Efek berantai kemudian diderita maskapai berlambang Singa merah itu. Sumber Jawa Pos (Radar Cirebon Group) mengatakan ada sabotase yang mengakibatkan delay berkepanjangan sampai dengan kemarin dan berpotensi masih berefek pada hari ini. “Sabotasenya ya karena keuangan juga. Tapi ini juga ramai dibilangnya karena di atas lagi ada perebutan kekuasaan,” ujarnya, enggan disebutkan nama, kemarin. Diminta pendapatnya terkait hal itu, pengamat penerbangan, Gerry Soejatman, mengaku heran dengan besarnya dampak ditimbulkan jika alasannya hanya karena tiga pesawat rusak. “Catatan saya ada 13 jadwal penerbangan, mungkin lebih, yang batal terbang. Lalu ada sekitar 50 jadwal yang delay. Ini aneh. Tidak masuk akal,” ucapnya, kemarin. Maka Gerry sepakat jika memang ada yang mengatakan Lion Air sedang menghadapi persoalan finansial. “Saya coba tanya ke orang Lion, apa ada pilot yang mogok, sebab ada yang mengatakan begitu. Tetapi katanya tidak ada yang mogok. Jadi indikasi karena faktor finansialnya semakin kuat. Bisa iya (faktor keuangan), bisa lebih dari itu,” ungkapnya. Kinerja keuangan Lion Air, kata Gerry, memang tidak bisa diakses karena merupakan perusahaan tertutup. Tapi dengan indikator nilai tukar Rupiah yang masih fluktuatif dan cenderung melemah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) bisa terbaca bahwa perusahaan itu sedang kesulitan. Penguasa pasar penerbangan berbiaya hemat alias low cost carrier (LCC) di Indonesia itu banyak melakukan pesanan pesawat baik ke Boeing maupun ke Airbus. Pada Maret 2013 Lion Air pesan 234 unit Airbus dan ditandatangani di Perancis sebesar total Euro 18,4 miliar (USD 24 miliar) atau sekitar Rp230 triliun. Pesanan dilakukan saat nilai tukar Rp9.500 per USD. Pada 12 November 2014, Airbus mengirim tiga A320 sebagai tahap pertama order Lion Grup. Sebelumnya, Lion juga mencatatkan pembelian terbesar bagi produsen pesawat asal AS, Boeing, pada November 2011. Maskapai yang kini juga buka cabang di Malaysia dan Thailand itu memesan 230 pesawat Boeing senilai USD 22 miliar atau sekitar Rp195 triliun pada kurs masih di kisaran Rp9.500 per USD. Direktur umum Lion Air Edward Sirait menyangkal kondisi finansial perusahaaanya memburuk. Dia memastikan tidak ada masalah dengan kondisi keuangan Lion Air baik sebelum maupun setelah peristiwa kali ini. “Kalaupun kerugian misalnya puluhan M itu adalah risiko bisnis yang harus kami tanggung,” ujarnya di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, kemarin. “Mudah-mudahan recovery-nya nanti cepat,” lanjutnya. Terkait dengan pinjaman kepada AP II, Edwar beralasan hal itu dilakukan akibat tidak tersedianya uang tunai dalam jumlah besar. “Kebetulan sedang hari libur,” tuturnya. Akhirnya pihaknya sepakat menggunakan dana Rp4 miliar dari AP II untuk cepat menalangi pengembalian uang tiket penumpang. Sebelumnya, pengembalian uang tiket selalu dilakukan via transfer ke rekening penumpang. Pihak Lion Air berjanji mengembalikan dana tersebut. Sementara itu, Dirjen Perhubungan Udara kemenhub Suprasetyo tidak banyak berkomenrtar soal dana talangan yang dikleluarkan AP II untuk Lion Air. “Itu kan B to B (bussiness to bussiness),” ujarnya. (gen/byu)
Lion Air Hadapi Persoalan Serius
Sabtu 21-02-2015,09:24 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :