Jembatan Jalan Pantura Kritis

Senin 28-11-2011,01:45 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

Rangka Besi atau Belly, Butuh Perhatian Lebih JAKARTA - Kasus putusnya jembatan Tenggarong di Kutai Kartanegara menimbulkan dugaan jika evaluasi tahunan Kementerian Pekerjaan Umum (Kemen PU) masih menyisakan lubang. Kondisi serupa mengancam pengguna jalan di ratusan jembatan lainnya, jika sistem evaluasi dan perawatan jembatan belum diperbaiki. Upaya Kemen PU untuk memelihara serta meningkatkan jembatan serta jalan diharapkan terus meningkat. Apalagi, tahun depan program khusus untuk perawatan serta pembangunan jalan dan jembatan mencapai Rp22 triliun. Dana yang super jumbo itu, diharapkan bisa mengejar target jalan dan jembatan dengan kualitas mantab sebesar 92,5 persen. Kepala Pusat Komunikasi (Kapuskom) Kemen PU Waskito Pandu di Jakarta kemarin (27/11) menuturkan, sejatinya kasus jembatan putus bisa diatasi dengan hasil rekomendasi evaluasi pemantauan jalan dan jembatan tahunan. Evaluasi ini dikebut mulai dari dinas pekerjaan umum di level kabupaten dan kota, hingga provinsi. Pandu menuturkan, setiap tahun ada saja jembatan-jembatan yang masuk kategori kondisi baik sekali, baik, rusak ringan, rusak berat, hingga kritis. Selain itu dalam evaluasi juga dipaparkan hasil pantauan jembatan yang runtuh atau sama sekali terputus. ”Setelah dipetakan, upaya selanjutnya adalah perawatan,” kata dia. Menurut Pandu, upaya perawatan jembatan-jembatan ini beragam. Mulai dari perawatan ringan, sedang, berat, hingga membongkar, lalu membangun ulang jembatan baru. Semua jenis perawatan ini, diputuskan dari hasil rekomendasi evaluasi tahunan. Untuk tahun ini, Pandu mengaku tidak hafal persis lokasi-lokasi jembatan yang kondisinya rusak berat hingga kritis. Dia mencontohkan bentuk perawatan beberapa jembatan yang kondisinya rusak berat hingga kritis di sepanjang jalur pantai utara (pantura) pulau Jawa. ”Ada beberapa titik jembatan yang kami bangun ulang,” tuturnya. Di antaranya di kawasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pembangunan ulang jembatan ini harus dikebut karena berbagai pertimbangan. Di antaranya tinggi air sudah mepet ke badan jembatan. Menurut Pandu, saat dibangun pertama kali, jarak air dan jembatan masih cukup tinggi. Tetapi, setelah dievaluasi, jarak permukaan air dan jembatan semakin mepet. Akibatnya, setiap hujan turun, jembatan selalu tergenang banjir. ”Bisa berbahaya, karena air bisa menggerus konstruksi jembatan,” katanya. Khusus kejadian putusnya jembatan Tenggarong, Pandu mengatakan masih dalam pemantauan. Termasuk upaya dari forensic engineering Kemen PU juga terus mencari penyebab pasti putusnya jembatan sepanjang 710 meter itu. Dugaan jembatan putus akibat konstruksi tidak kuat memanggul beban masih terus diselidiki. Pandu menjelaskan, dari berbagai jembatan yang ada di Indonesia, pemerintah terus memelototi jembatan-jembatan besar kategori jembatan rangka baja atau sering disebut jembatan belly. Sebab, menurut Pandu, banyak jembatan belly yang sudah uzur karena dibangun sejak zaman pendudukan Belanda. ”Dari peruntukan pembangunanannya saja, jembatan belly dibuat untuk sementara,” katanya. Berdasarkan ciri-cirinya, jembatan Tenggarong yang dibangun pada 1995 dan selesai 2001 lalu identik dengan jenis jembatan belly. Di antaranya adalah, jembatan Tenggarong disokong oleh rangka baja di kedua sisinya. Selain itu, tiang pancang atau penyangga jembatan ini juga tidak serapat jembatan berjenis gelagar. Menurut Pandu, pemeliharaan untuk jembatan berjenis belly ini cukup memakan biaya. Celakanya, dia mengatakan pemerintah memiliki keterbataan anggaran untuk memantau sekaligus memelihara jembatan belly. Data Kemen PU pada 2009 menyebutkan, di seluruh Indonesia terdapat 1.677 unit jembatan belly. Sedangkan untuk model jembatan gelagar, jumlahnya adalah 7.888 unit. Sementara jembatan dengan konstruksi box culvert sebanyak 2.030 unit. Di tahun yang sama, jembatan model belly di Indonesia yang terbanyak terdapat di provinsi Papua dengan jumlah 136 unit. Disusul di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (126 unit) dan di Kalimantan Barat (117 unit). Secara keseluruhan, data Kemen PU pada 2009 menyebutkan ada 540 unit jembatan dengan kondisi kritis. Terbanyak ada di provinsi Papua yaitu 79 unit. Kemudian di NAD (47 unit), Sumatera Utara (46 unit), Sulawesi Tengah (41 unit), dan di Sulawesi Tenggara (34 unit). (wan)

Tags :
Kategori :

Terkait