Oleh: Barnawi DALAM dunia pendidikan kita, sejauh ini kerjasama antara guru dan orangtua belum berjalan secara efektif. Orangtua kurang intens berkomunikasi dengan guru, bahkan ketika diundang ke sekolah banyak orangtua yang merespon negatif. Anggapan bahwa undangan ke sekolah identik dengan penarikan iuran dan pembayaran masih melekat di sebagian wali murid. Kesenjangan psikologis antara orangtua dan guru harus direduksi karena pendidikan merupakan tanggung jawab bersama. Orangtua dan guru memiliki kedudukan strategis dalam pendidikan. Orangtua adalah guru pertama bagi anak-anak, dan guru adalah penerus pendidikan di luar lingkungan keluarga. Orangtua yang perhatian terhadap anak dalam belajar di rumah akan memudahkan kerja guru di sekolah, begitu juga sebaliknya. Kejelasan dalam penyampaian materi di sekolah akan memudahkan bagi orangtua dalam membina anak di rumah. Sayang, tidak semua orangtua dapat memiliki waktu lebih untuk menemani anaknya belajar. Kesibukan mencari nafkah dan ketidakmampuan mengikuti perubahan kurikulum pendidikan menjadi faktor kurangnya intensitas komunikasi belajar orangtua dan anak di rumah. Dan dampaknya jelas, anak-anak kurang optimal dalam merengkuh prestasi belajar. Minimnya intensitas komunikasi belajar orangtua dan anak di rumah merupakan pertanda bahwa tradisi keilmuan belum menjadi sistem nilai yang dianut oleh banyak keluarga. Banyak orangtua yang terjebak pada kapitalisme dan pola hidup hedonis karena menjadi pemuja tayangan media televisi yang menyuguhkan berbagai acara yang kurang edukatif . Apa yang dilihatnya tertanam dalam alam bawah sadar orangtua sehingga mimicu pola hidup workaholic yang justru melalaikan pentingnya komunikasi belajar dengan anaknya. Banyak orangtua yang bekerja siang dan malam, namun tidak diimbangi bagaimana membekali anak-anak dengan keilmuan yang luas. Orangtua kini lebih puas dapat menuruti permintaan anak dibanding mendidik dengan benar. Kurangnya komunikasi orangtua dan anak dalam belajar tidak saja menjadikan prestasi belajar kurang optimal namun juga karakter yang tidak berkembang dengan baik. Terlebih sikap permisif orangtua terhadap anak kini semakin dominan dalam kehidupan karena pengaruh media dan gaya hidup masyarakat modern. Orangtua dirasa terlalu longgar dalam mendidik anak. Dampaknya jelas, kenakalan remaja menjadi semakin masif terjadi. Di Amerika Serikat Hillary Clinton pernah menggagas proyek mother back to home. Proyek ini menekankan pentingnya para ibu kembali ke ranah privat dengan tugas utama mendidik anak. Proyek ini dilatarbelakangi semakin maraknya kenakalan remaja di Amerika yang disebabkan oleh minimnya perhatian orang tua terhadap anak. Dalam konteks seperti saat ini di mana emansipasi semakin memperoleh ruang yang luas, gerakan semacam mother back to home sebagaimana proyek Hillary Clinton menjadi urgen untuk diterapkan di Indonesia. Gerakan sebagaimana ide Hillary Clinton akan efektif jika guru dan orangtua bersinergi. SINERGI YANG BERKUALITAS Sinergi berasal kata dari syn-ergo suatu kata Yunani yang berarti bekerjasama (Hampden-Turner, 1990). Senada dengan etimologi di atas, Walton (1999) mendefinisikan sinergi sebagai hasil upaya kerjasama atau ’co-operative effort’, karena itu inti dari proses untuk menghasilkan kualitas sinergi adalah kerjasama. Covey (1989) menyatakan bahwa bersinergi lebih dari sekedar bekerjasama. Bersinergi adalah menciptakan solusi atau gagasan yang lebih baik dan inovatif dari sebuah kerjasama, oleh karena itu dinyatakan oleh Covey sebagai suatu ’creative cooperation’. Dari terminologi di atas maka substansi sinergi antara orangtua dan guru adalah bekerjasama dalam rangka meningkatkan kualitas pengetahuan, keterampilan, dan karakter anak didik. Untuk menghasilkan kualitas sinergi yang baik diperlukan suatu perilaku kerjasama yang merupakan konsekuensi dari semangat berkelompok atau kebersamaan yang kohesif.Sinergi orangtua dan guru akan bermakna creative cooperation jika dalam kerjasama keduanya dibarengi dengan gagasan yang inovatif. Guru tentu memiliki banyak inovasi agar sekolahnya memiliki keunggulan baik keunggulan kompetitif maupun komparatif. Sebaliknya orangtua juga mengharapkan anaknya memperoleh pendidikan yang baik sehingga memiliki daya saing yang tinggi sekaligus mampu membangun jaringan yang baik. Dari kedua harapan yang datang dari pihak orangtua dan guru maka ada titik temu di mana keduanya akan membangun budaya berprestasi dan budaya unggul. Dengan persamaan persepsi ini maka orangtua dan sekolah secara tidak langsung sudah membangun kesepakatan bagaimana memajukan sekolah. Kesepakatan bersama merupakan suatu bentuk saling percaya yang merupakan variabel utama dalam bekerja sama, bahkan rasa saling percaya itu ekivalen dengan perilaku kerjasama. Dengan kerjasama berlandaskan rasa saling percaya orangtua dapat berperan dalam berbagai kegiatan untuk memajukan sekolah, orangtua dapat menjadi expertis ketika sekolah membutuhkan resources yang sesuai dengan keahliannya. Sinergi orangtua dan guru diera digital seperti saat ini tentu memiliki pola hubungan yang berbeda dibanding zaman dahulu. Sinergi orangtua dan guru sudah saatnya berbasis teknologi komunikasi. Guru dan pihak sekolah dapat menyediakan ruang informasi yang dapat diakses orangtua masing-masing siswa secara mendetail dan orangtua dapat share informasi, keluhan, dan konsultasi kepada guru atau kepala sekolah melalui internet. Jika pola hubungan di atas terbangun dengan baik maka orangtua dapat mengontrol anaknya di sekolah, memantau kualitas akademik sekolah, dan sekaligus dapat memberi input kepada sekolah agar lebih progesif dan memiliki nilai lebih. Di era pendidikan modern, sinergi yang berkualitas antara orangtua dan guru adalah kata kunci kesuksesan anak didik. *) Penulis adalah Kepala MA Bina Cendekia Kabupaten Cirebon
Membangun Sinergi Orangtua dan Guru
Senin 09-03-2015,10:00 WIB
Editor : Harry Hidayat
Kategori :