Izin Usaha Semrawut, Pengusaha Kucing-kucingan

Senin 13-04-2015,10:00 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

Lika-liku Penanaman Modal di Kabupaten Cirebon   Sebagai salah satu wilayah strategis di kawasan pantai utara (pantura) Jawa Barat, Kabupaten Cirebon “seksi” di mata investor untuk menanamkan modalnya. Apalagi, semakin padatnya wilayah Jabodetabek dan Bandung Raya, membuat Kabupaten Cirebon menjadi salah satu destinasi bisnis yang sangat menggiurkan. Lalu bagaimana kesiapan pemerintah daerah menyambut peluang itu? Bagi Pemerintah Kabupaten Cirebon, banyaknya investasi menjadi peluang meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Tapi menjadi problem jika tidak dibarengi dengan kesiapan infrastruktur maupun suprastruktur dalam menjamin kepastian investor. Salah satunya terkait dengan kemudahan  mengurus perizinan. Belakangan, banyak pengusaha atau investor baik dalam skala kecil maupun besar “malas” mengurus perizinan. Padahal, perizinan merupakan legitimasi hukum agar usaha yang akan dijalankan bersifat legal. Merujuk dari pengakuan sejumlah pengusaha, lamanya proses perizinan dan ketidakjelasan biaya menjadi lika-liku proses penanaman modal di Kabupaten Cirebon. akibatnya tidak sedikit pengusaha yang kucing-kucingan dengan pemerintah. Menurut pengusaha galian C asal Desa Gemulung Tonggoh, Kecamatan Greged, H Permadi, misalnya, perizinan menjadi pintu gerbang dimulainya sebuah usaha. Pengusaha akan merasa nyaman dalam menjalankan roda usahanya, jika dokumen perizinan sudah lengkap. Tapi untuk mendapatkan beberapa lembar perizinan, pengusaha harus menempuh jalur birokrasi yang amat panjang dan memakan waktu lama. “Untuk usaha saya, paling penting adalah dokumen UKL-UPL. Nah, untuk membuat dokumen itu kita harus membayar konsultan dengan waktu pembuatan dua sampai tiga bulan,” tuturnya kepada Radar, kemarin. Kalau dokumen UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan) sudah jadi, lanjut dia, maka proses perizinan yang lain akan mudah ditempuh. “Rekomendasi, izin usaha pertambangan (IUP) dan syarat lainnya akan cepat jadi, jika UKL-UPL-nya beres,” imbuhnya. Lebih jauh, Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kabupaten Cirebon tidak mau mengeluarkan IUP, jika dokumen UKL-UPL belum jadi. Meskipun konsultan sudah membuat surat pernyataan yang menyatakan UKL-UPL tengah dibuat dan dalam waktu dekat diselesaikan. “Takut dikritik oleh sejumlah elemen, BPPT enggan mengeluarkan IUP, meski kita membawa surat pernyataan dari konsultan,” bebernya. Lamanya pembuatan dokumen UKL-UPL, pihaknya merasa rugi secara finansial. Karena, modal yang sudah dikeluarkan harus segera berputar agar tidak macet. Tapi dengan menunggu izin, tidak ada uang berputar. “Namanya kita usaha, pasti tidak mau rugi. Tapi, kalau kondisinya seperti ini mau bagaimana lagi. Bisa jadi, jika ada pengusaha yang izin usaha belum keluar, tapi aktivitas sudah dilakukan, itu demi menutup kerugian. Tapi, saya pribadi ingin usaha itu aman, mau tidak mau harus ikuti aturan,” ungkap pengusaha yang mengaku tiap kali mengurus izin usaha sampai tuntas, bisa mengeluarkan kocek sampai Rp40 jutaan ini dengan luas lahan 5 hektare. Sementara pengusaha furnitur dan mebeler, H Asep Kurniawan mengatakan, untuk membuat satu perizinan usaha di bidang industri furnitur dan mebeler, ada beberapa tahap yang harus ditempuh. Di antaranya izin lokasi, fatwa bupati, pertimbangan teknis dari BPN, pertimbangan teknis dari Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang,  izin mendirikan bangunan (IMB), HO, UKL-UPL. “Ini biayanya tidak jelas, kecuali IMB dan HO memang ada peruntukkannya untuk PAD. UKL-UPL juga tidak jelas itungannya, kalau ingin cepat harus nego,” jelasnya. Kalau dirunut ke bawah, lanjut dia, harus ada izin tetangga yang setiap desa tarifnya beda-beda. Kemudian surat rekomendasi ke kecamatan. “Kalau ada 10 rumah, satu rumahnya Rp100 ribu, maka Rp 1juta,”  imbuhnya. Kalau syaratnya lengkap, satu sampai dua minggu selesai. Tapi menurut Asep, untuk melengkapi syarat ini yang kadang membutuhkan waktu lama. Apalagi sidang fatwa bupati. Jika yang sidang banyak, pasti satu bulan bisa 4 kali dilakukan. Tapi jika sedikit, harus menunggu banyak dulu. Karena itu, jika ingin cepat biayanya harus besar. Kalau modalnya pas-pasan, terpaksa harus menunggu lama. “Jadi ini sangat semrawut sekali, karena harus banyak pintu perizinan yang harus dilewati. Kalau orang punya duit dan enggak mau repot, maka diborongkan. Sementara, yang tidak punya duit, pasti lama,” terangnya. Pihaknya berharap, bupati Cirebon bisa memperbaiki birokrasi perizinan, jika ingin investasi di Kabupaten Cirebon bertambah banyak. “Kalau tidak diperbaiki, investor bisa lari ke daerah lain seperti Indramayu dan Majalengka,” pungkasnya. (mohamad junaedi)    

Tags :
Kategori :

Terkait