Prostitusi; Problematika Sosial Keagamaan

Rabu 13-05-2015,09:00 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

INDONESIA, menurut Presiden Joko Widodo sedang dalam kondisi darurat narkoba. Tiap hari 30 nyawa melayang sia-sia karena kasus narkoba. Para pakar dan pengamat sebelumnya mengambil konklusi bahwa kasus korupsi kita sudah sampai pada titik nadir, sehingga kalau mengadaptasi pandangan Ronggo Warsito, kita sekarang sedang memasuki zaman Kalatida—zaman edan—sapa sing ora melu edan ora bakal keduman. Jargon yang digunakan adalah, apabila perbuatan itu dilakukan bersama-sama, maka dianggap sebuah kebenaran, walaupun yang dilakukan adalah pekerjaan maling. Mengerikan prediksi yang disampaikan Jalaluddin Rakhmat, jika kondisi bangsa ini dibiarkan seperti itu, maka wajah kita akan berubah seperti Chimera Monstary—separuh berbentuk binatang dan separuh berbentuk manusia. Belakangan muncul statement dari Menteri Sosial Khafifah Indarparawansa, Indonesia darurat prostitusi—setelah heboh munculnya kasus prostitusi online yang melibatkan artis terkenal—walaupun harus diakui bahwa sesungguhnya ini bukan kasus yang pertama, karena sebelumnya sudah banyak kasus yang terjadi antara artis dengan politisi, pengusaha dan lainnya. Miris memang, tetapi inilah realitas yang tak terbantahkan. Begitu para kepala daerah ramai-ramai untuk menutup dan membubarkan lokalisasi prostitusi, muncul ‘lokalisasi-lokalisasi’ baru dengan wajah yang berbeda dalam bentuk salon, hotel/wisma, panti pijat, rumah kost-kost-an tanpa induk semang, tempat karaoke, prostitusi online dan dalam bentuk lainnya yang susah untuk dikendalikan. Ketika muncul gagasan Gubernur DKI, Basuki Tjahaya Purnama—Ahok—untuk membuka kembali lokalisasi prostitusi agar mudah dikontrol, terjadi kontroversi. Alih-alih ini adalah bentuk legitimasi, walaupun harus jujur diakui bahwa banyak variabel yang menyebabkan seseorang jatuh ke dunia prostitusi. SEJARAH PANJANG PROSTITUSI Kalau kita menelusuri sejarah perkembangan masyarakat manusia, maka kehadiran pelacuran sama usianya dengan adanya institusi perkawinan/keluarga. Sebab setiap hubungan seksual antara dua jenis kelamin yang tidak sah menurut norma perkawinan adalah tergolong pelacuran. Hanya bedanya sebagaimana disebutkan di atas dari segi legalitas, ada yang terselubung dan ada yang terbuka. Pada zaman Yunani Kuno, praktik pelacuran sempat memperoleh tempat terhormat. Di Amerika dan Roma, pelacuran semakin tumbuh subur dewasa ini. Laode Ida pernah mengatakan bahwa pada zaman Yunani Kuno, profesi pelacur memperoleh previllage tersendiri dan diakui publik. Laki-laki Yunani yang terhormat selalu mencari perempuan pelacur untuk hiburan sosial, sedang istri-istri mereka tidak boleh keluar rumah. Kondisi seperti itu merupakan bentuk pelacuran dalam masyarakat tradisional yang dilegitimasi, bahwa absah tidaknya suatu perilaku sangat tergantung dari norma yang ditentukan oleh charismatic leader. Amerika seperti dituturkan oleh Dr Beatrim Sarukin, pada saat ini telah mengalami dekadensi moral yang sangat serius, “kita telah terkepung dari segala penjuru oleh paham kebebasan seks, sehingga menenggelamkan setiap ruang bangunan kebudayaan. Revolusi yang tengah melanda kita ini mengubah kehidupan setiap laki-laki dan perempuan di Amerika lebih besar ketimbang revolusi lain dalam abad ini”. Ia juga memprediksi Amerika akan menuai keadaan yang dialami oleh imperium Grik, kemudian Romawi dahulu kala, yang hancur karena dekadensi seks. Di Indonesia, kasus-kasus pelacuran dan kebebasan seks juga sangat mengkhawatirkan—seiring dengan kemajuan pembangunan yang terkadang tidak dapat membendung perilaku demoralisasi—dengan diikuti gaya hidup yang makin individualistic, materialistic dan hedonistic. Bahkan perilaku itu sudah menjadi trend di kalangan anak-anak muda. Kasus itu dengan mudah dapat ditemukan, ketika banyak remaja putri di bawah umur menjadi pelaku pelacuran—sebagaimana dituturkan oleh Menteri Sosial. FAKTOR PENYEBAB MUNCULNYA PROSTITUSI Tjahyo Purnomo pernah meneliti pada tahun 1982 di kompleks pelacuran Dolly—waktu belum dibubarkan—dan Kendari pada tahun 1987. Menurutnya, ada tiga faktor penyebab pelacuran: Pertama, alasan ekonomi (cepat menghasilkan uang dan tidak mempunyai keterampilan untuk bekerja di tempat lain). Kedua, alasan psikologis (patah hati, balas dendam pada laki-laki, putus asa, dipaksa menikah, dan kesepian). Dan ketiga, tidak tahu dibawa ke tempat pelacuran (trafficing, tidak mempunyai pendidikan, karena keluguan). Dari hasil penelitiannya juga ketika di Kendari menunjukkan bahwa alasan ekonomi masih sangat dominan (69, 3%). Walaupun Kuncoro kurang sepaham alasan ekonomi menjadi faktor penyebab yang paling dominan, karena mengacu pada hasil penelitiannya di salah satu daerah miskin, ternyata tidak satupun perempuan di daerah tersebut terlibat dalam praktik pelacuran. MASYARAKAT DAN PRAKTIK PROSTITUSI Prostitusi, oleh agama apapun dan masyarakat manapun—termasuk di Indonesia—dipandang sebagai perbuatan yang kotor. Tetapi tentu kita tidak ingin terjebak pada diskursus panjang yang kontraproduktif dengan mencari siapa yang salah. Dengan memahami faktor penyebab munculnya prostitusi di atas, kita dapat memprediksi solusi untuk paling tidak mengeliminasinya dan tentu campur tangan pemerintah sangat diperlukan—walaupun tidak sesederhana yang dibayangkan. Atau gagasan untuk ‘membuka’ kembali lokalisasi juga tidak bisa dipandang sebelah mata—walaupun kesannya memberikan legitimasi dan sangat kontroversial—ide awal ketika Ali Sadikin melokalisasi prostitusi di Kramat Tunggak adalah untuk merehabilitasi para pelacur dengan cara memberikan keterampilan-keterampilan praktis, juga pembinaan mental spiritual agar kelak mereka sadar dan kembali ke tengah-tengah masyarakat. Dilematis memang, masyarakat bereaksi menolak legalisasi/lokalisasi tetapi dibubarkan juga telah memunculkan masalah baru dengan menjamurnya rumah-rumah bordir, wisma/losmen, tempat kost-kost-an dan yang terkini kasus prostitusi online. Yang bijak adalah tentu dengan memperkuat basic keimanan individu dan peran lingkungan masyarakat yang kondusif dalam menciptakan lingkungan yang baik. ‘ajari anak berenang’ ketika rumahnya dekat kali atau sungai, supaya ia tetap bertahan dan dapat melawan arus. TINJAUAN HUKUM DAN ETIKA Pemenuhan kebutuhan seksual melalui suatu praktik yang tanpa bertumpu di atas tata aturan yang ada—baik sistem kepidanaan Islam ataupun KUHP—mengkategorisasikannya sebagai perbuatan zina (prostitusi). Hanya saja dalam kesamaannya terdapat perbedaan yang amat kentara. Menurut sistem kepidanaan Islam, perbuatan zina adalah perbuatan yang amat hina, yang dikategorisasikan sebagai tindak pidana kejahatan, yang karenanya pelakunya diancam dengan sanksi pidana. Ruang lingkup kategorisasinya tidak hanya sekadar kepada mereka yang ada dalam ikatan pernikahan (mukhshan), melainkan juga termasuk para gadis dan jejaka (ghair mukhshan). Perbedaannya hanya dalam bentuk sanksi pidana yang diancamkan. Ancaman dera bagi gadis dan jejakanya, dan ancaman mati bagi yang lainnya. Sementara itu, bila kita tilik dan telaah, sistem kepidanaan kita (KUHP), prostitusi (zina) tidak selamanya dianggap sebagai tindak pidana kejahatan. Ia dianggap sebagai suatu kejahatan hanya apabila; Pertama, dilakukan oleh seorang perempuan yang bersuami (Pasal 284 KUHP). Kedua, dilakukan dengan jalan kekerasan atau pemerkosaan (Pasal 285 KUHP). Ketiga, dilakukan pada perempuan yang tidak berdaya (Pasal 286 KUHP), dan keempat, dilakukan terhadap seorang perempuan di bawah umur (Pasal 287 KUHP). Kejahatan yang disebutkan pada pasal-pasal itupun hanya dikategorisasikan sebagai delik aduan, suatu delik yang akan dapat dikenai suatu sanksi pidana hanya apabila ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan. (*) *Penulis adalah Dosen STIT/STKIP Al-Amin Indramayu

Tags :
Kategori :

Terkait