PEMERINTAH berancang-ancang mengimpor dua komoditas pangan, cabai dan bawang, menghadapi ramadan dan lebaran tahun ini. Pemerintah beralasan langkah impor terhadap keduanya terpaksa dibuka demi stabilisasi harga agar tidak naik fantastis seperti lebaran-lebaran sebelumnya. Menteri Perdagangan Rachmat Gobel mencontohkan harga cabai pada lebaran tahun lalu yang hingga menembus Rp130 ribu per kilogram. “Karena itu, impor ini perlu untuk mengendalikan,” kata Gobel, usai rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo di kantor Presiden, Jakarta, kemarin (3/6). Menurut dia, pemerintah telah melakukan berbagai upaya agar stok kebutuhan pangan masyarakat menghadapi ramadhan dan lebaran tercukupi. Namun, panen yang telah terjadi di beberapa daerah ternyata masih juga belum mencukupi. Khususnya, untuk kebutuhan dua momen yang berkaitan dengan mayoritas masyarakat Indonesia tersebut. “Kalau satu tahun, produksi cukup. Tapi ini kebutuhan dan musim puasa, ada short supply, jangan sampai harga cabai misalnya, melambung seperti tahun lalu,” tuturnya. Namun demikian, soal besaran impor yang akan dilakukan terhadap dua komoditas tersebut, Gobel masih belum bisa memastikannya. Menurut dia, jumlahnya masih akan dihitung terlebih dulu. “Nanti, kami lihat besarannya dalam waktu dekat,” katanya. Selain persoalan ketersediaan, keputusan impor sangat impor sangat mungkin dilakukan, karena harga cabai dan bawang di pasaran sudah naik saat ini. “Beberapa jenis produk harganya sudah turun, namun harga cabai dan bawang ini ada kenaikan,” tandasnya. Rapat terbatas yang dipimpin Presiden Jokowi langsung kemarin, memang khusus mengagendakan pembahasan soal ketersediaan stok pangan selama ramdhan dan lebaran tahun ini. Ada tujuh instruksi yang dikeluarkan pasca rapat. Salah satunya, adalah impor yang menjadi solusi terakhir dengan tetap mengutamakan penyerapan hasil-hasil pertanian , perkebunan, dan peternakan dalam negeri. Selain cabai dan bawang, masih berkaitan dengan ramadhan dan lebaran, pemerintah juga sudah bersiap-siap melakukan impor daging. Kemendag telah mengeluarkan izin rekomendasi impor 250 ribu ekor sapi bakalan dan izin 29 ribu ekor sapi siap potong. Izin itu dikeluarkan setelah terlebih dulu Kementerian Pertanian mengirimkan surat untuk dikeluarkannya izin rekomendasi impor sapi tersebut. Gobel menyatakan, hingga saat ini, impor sapi tersebut kemungkinan masih akan didatangkan dari Australia. Meski, sampai sekarang, pemerintah juga masih mempertimbangkan impor dari negara lain. Sama seperti halnya cabai dan bawang, kemungkinan impor daging dilakukan juga karena produksi dalam negeri tidak mencukupi. “Sapi itu kita ada, tapi milik peternak yang belum tentu mau dijual. Dia kan menjual sesuai kebutuhan para peternak itu sendiri,” bebernya. Lalu, siapa saja perusahaan yang mendapat hak impor? Gobel mengaku lupa. Dia hanya menyatakan kalau nanti jadi mengimpor daging sapi, akan ada 10-11 perusahaan yang terlibat. “Memang kami nggak niat impor itu, yang impor itu secondary meat dan impor daging sapi bakalan,” tandasnya. Sementara itu, Menkoperekonomian Sofyan Djalil menuturkan, stok beras selama bulan Juni dipastikan aman. Bulog telah melaporkan pada pihaknya bahwa masih tersedia stok beras sebanyak 1,5 juta ton. Stok sebanyak itu persediaan selama lima hingga enam bulan ke depan. Meski begitu, lanjut dia, pemerintah tetap harus memastikan pasokan beras yang ada. “Cadangan beras pemerintah sangat terbatas, kita perlu evaluasi. Apalagi, kita lihat secara overall, bagaimana produksi, panen yang akan datang, berapa impor,”papar Sofyan di kantornya, kemarin. Namun, pihaknya memastikan, hingga saat ini, pemerintah belum memutuskan membuka keran impor untuk beras. “Belum,” lanjutnya. Menyo al ancaman inflasi Juni, Sofyan menegaskan bahwa pemerintah masih mampu menjaga harga-harga barang tetap terkendali. Karena itu, pemerintah tidak akan mengoreksi target inflasi tahun ini. Menurut dia, kenaikan harga-harga komoditas yang menyumbang inflasi pada Mei lalu, masih terkontrol. “Bagaimana caranya lebaran harga tetap terkendali, itu yang dilakukan pemerintah. Jadi belum cukup alasan untuk mengubat target,” imbuhnya. Di bagian lain, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menilai pemerintah telah gagal mengontrol harga bahan pokok. Terbukti, setiap mendekati lebaran harga-harga bahan pokok melambung tinggi. “Bahan pokok yang menjadi kebutuhan sehari-hari tidak mampu dikontrol. Apa gunanya ada pemerintah kalau semuanya diserahkan ke mekanisme pasar,” ujarnya. Tulus berharap Indonesia bisa mencontoh Malaysia dan Australia yang menyerahkan distribusi bahan pokok kepada pemerintah, bukan diserahkan kepada mekanisme pasar. Sehingga, pada saat terjadi kelangkaan ada intervensi yang kuat dari pemerintah.”Dengan demikian, stabilitas harga dapat terjamin. Tidak hanya selalu mengandalkan operasi pasar,” tambahnya. Mengenai rencana pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Pengendalian Barang Kebutuhan Pokok, Tulus menilai tidak menjamin dapat menstabilkkan harga-harga. Pasalnya Perpres merupakan produk hukum yang tidak mengikat. “Sebaiknya distribusi bahan pokok diserahkan ke negara dan diatur dalam Undang-Undang. Butuh payung hukum yang lebih kuat,” katanya. Seperti diketahui Perpres Pengendalian Barang Kebutuhan Pokok memberikan wewenang yang lebih besar kepada Menteri Perdagangan untuk mengontrol harga. Sebagai contoh, Mendag berwenang menetapkan harga batas atas- batas bawah bahan pokok dan mengizinkan impor jika harga melambung. “Kita kan sudah punya Bulog kenapa tidak dimanfaatkan saja?,” tanyanya. Tulus menilai kenaikan harga kebutuhan pokok yang berbarengan dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan LPG (liquid petroleum gas) membuat masyarakat semakin tercekik. Demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, masyarakat terpaksa mengurangi sejumlah pengeluaran.”Saya kira ini ujian berat bagi kita di era Jokowi. Karena hampir semua hal harganya naik,” jelasnya. (dyn/ken/wir)
Hadapi Ramadan, Ancang-ancang Impor Cabai dan Bawang
Kamis 04-06-2015,09:50 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :