UNESCO Sampaikan Kekaguman terhadap Keraton Kasepuhan Berkeliling dalam Keraton Kasepuhan serasa masuk ke dalam mesin waktu. Aura abad ke-15 masih terasa. Arsitektur bangunan masih terlihat megah seperti pada zamannya. Tak heran jika dunia melalui UNESCO mengagumi Keraton Kasepuhan karena masih terjaga keasliannya selama 600 tahun. CIREBON merupakan salah satu wilayah di nusantara yang memiliki sejarah panjang kebudayaan Islam. Hal tersebut dapat dilihat dari bangunan Keraton Kasepuhan Cirebon. Berlokasi di Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Keraton Kasepuhan sudah berdiri sejak tahun 1452 oleh Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana bersemayam di Dalem Agung Pakungwati. Dulunya, Keraton Kasepuhan bernama Keraton Pakungwati. Sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Ia wafat pada tahun 1549 dalam Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Nama Ratu Dewi Pakungwati diabadikan dan dimuliakan oleh nasab Sunan Gunung Jati sebagai nama keraton yaitu Keraton Pakungwati yang sekarang bernama Keraton Kasepuhan. Keraton Kasepuhan saat ini terdiri dari berbagai bangunan, mulai dari bangunan pada abad 15 hingga abad ke 21. Bentuk fisik bangunan Keraton Kasepuhan pun masih asli dan terjaga. Bangunan abad ke 15 yang masih terjaga hingga saat ini yakni Siti Inggil. Siti Inggil yang berarti tanah yang tinggi disebut juga lemah duwur dalam bahasa Cirebon. Siti Inggil terbuat dari susunan bata merah dan memiliki gaya arsitektur Majapahit yang mengikuti perkembangan zaman pada saat itu. Di dalam kompleks Siti Inggil terdapat lima bangunan tanpa dinding, dengan bangunan utama bernama Malang Semirang. Bangunan ini memiliki enam tiang yang melambangkan rukun iman. Namun secara keseluruhan, bangunan ini memiliki tiang berjumlah dua puluh yang melambangkan sifat-sifat Allah. Selain Siti Inggil, ada juga bangunan yang usianya lebih dari 600 tahun yakni Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Masjid yang didominasi warna merah ini memiliki bentuk yang unik, selain tidak memiliki menara masjid seperti Masjid Agung Demak, masjid ini juga tidak mempunyai kubah atap masjid (memolo) sebagai mana lazimnya bangunan masjid yang ada. Pintu masuk masjid utama pun begitu pendek dan sempit, sehingga bagi orang dewasa yang akan memasukinya harus dengan membungkukkan badan. Ini katanya untuk memberikan penghormatan kepada masjid sebagai tempat suci untuk beribadah. Bangunan utama masjid tersusun dari bata dan dinding merah dan telah diperluas di segala sisinya, hingga dapat memuat lebih banyak jamaah ketika melakukan salat. Di dalam bangunan utama masjid terdapat mihrab yang memiliki hiasan ornamen batu putih berbentuk teratai. Sementara di sisinya terdapat mimbar imam berupa singgasana dari kayu. Melihat dari berbagai ornamen dan hiasan yang ada di masjid Agung Sang Cipta Rasa, seakan menyiratkan adanya pengaruh beberapa kebudayaan yang berkembang saat itu terhadap struktur bangunan masjid. Hiasan dan ornamen ini juga sama seperti yang ditemukan pada beberapa bangunan Keraton yang ada di Cirebon. Hal lain yang menjadi salah satu keunikan masjid ini yang terkenal adalah adanya tiang (soko guru) yang tersusun dari potongan-potongan kayu yang disatukan menggunakan lempengan besi. Karena kondisinya soko guru yang sudah kurang baik saat ini untuk menopang bagian atap masjid telah dipasang beberapa besi penyangga di sekitar tiang masjid. Kemudian bangunan yang tertua lainnya adalah Masjid Pejalagrahan, Dalem Agung, Makam Astana Gunung Jati, Masjid Panjunan dan tembok-tembok Keraton Kasepuhan. Begitupun dengan barang-barang peninggalan Sunan Gunung Jati masih terawat dengan baik. Di antaranya gamelan sekaten, gamelan denggung, tongkat CIS, pedang Sunan Gunung Jati, pedang Sunan Kalijaga, golok Pangeran Cakrabuana, jubah Sunan Gunung Jati, 9 piring tabsi dan 40 piring pengiring, senapan dan keris Sunan Gunung Jati. Ada juga umbul-umbul dan bendera yang tersimpan di kamar pusaka. Mendengar penilaian dunia melalui UNESCO yang kagum akan Keraton Kasepuhan, Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadingrat SE mengaku bangga. Dijelaskannya, Keraton Kasepuhan adalah life monument. Artinya, Keraton Kasepuhan adalah bangunan yang masih hidup hingga saat ini. Baik dari segi bangunan maupun tradisi seni dan budayanya masih hidup. \"Keraton Kasepuhan satu-satunya keraton tertua yang masih ada dan berdiri kokoh sampai sekarang. Sezaman dengan kerajaan Demak, tapi sekarang di Demak sudah tidak ada keraton, hanya ada Masjid Demak saja,\" ujarnya. Untuk menjaga dan merawat cagar budaya peninggalan leluhur itu, sejak masa kepemimpinannya Sultan Sepuh fokus dua program yakni revitalisasi dan optimalisasi Keraton Kasepuhan. Seperti pada tahun 2013 dilakukan konservasi Siti Inggil dan pada tahun 2014 Masjid Agung Sang Cipta Rasa dan Astana Gunung Jati. \"Ini dilakukan untuk mempertahankan, menjaga, dan merawat keaslian dari bangunan-bangunan yang ada di Keraton Kasepuhan. Saya juga berharap agar masyarakat Cirebon bisa menjaga dan melestarikan peninggalan leluhur ini dengan bijak,\" harapnya. Selain menjadi tempat pelestarian budaya, Keraton Kasepuhan juga masih mengadakan berbagai acara tradisi yang diselenggarakan setiap tahun. Acara Panjang jimat salah satunya. Panjang jimat adalah acara yang diselenggarakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. (mik)
Kokoh di Usia 600 Tahun
Kamis 09-07-2015,22:32 WIB
Editor : Dedi Darmawan
Kategori :