Harga Minyak Dunia Anjlok

Rabu 22-07-2015,09:58 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

JAKARTA- Tekanan demi tekanan terus menghantam komoditas minyak dunia. Harga minyak dunia pun diperkirakan masih berpotensi kembali turun di bawah level psikologis USD 50 per barel. Praktisi Sektor Migas Erie Soedarmo mengatakan, harga minyak sempat terhuyung akibat krisis utang Yunani yang bakal memperlambat pemulihan ekonomi kawasan Eropa. “Harga minyak kian terpukul akibat kesepakatan nuklir Iran,” ujarnya kemarin (21/7). Kesepakatan antara Iran dan Amerika Serikat terkait program nuklir Negeri Ayatollah itu memang langsung memantik reaksi pasar energi global. Dengan kesepakatan itu, Iran bisa terbebas dari sanksi ekonomi, sehingga bisa kembali mengekspor minyaknya. Para analis menyebut, Iran yang merupakan anggota terbesar ke-4 Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), setidaknya bisa membanjiri pasokan minyak global dengan tambahan 4 juta barel per hari. Tambahan pasokan itu dipastikan bakal membuat harga minyak kembali merosot. Erie menyebut, saat ini pasar minyak dunia memang kurang bersahabat bagi para produsen. Selain permintaan yang melemah akibat lambannya pemulihan ekonomi global, OPEC selaku kartel minyak terbesar di dunia juga belum tergerak untuk mengurangi pasokan. “Bahkan, ada kecende­rungan pasokan bertambah, sehingga harga akan kembali tertekan,” katanya. Akhir pekan lalu, harga minyak jenis West Texas Inter­mediate (WTI) untuk pertama kalinya anjlok hingga di bawah level psikologis USD 50 per barel sejak April 2015. Dalam perdagangan kemarin, harga minyak WTI kembali menyentuh USD 49,77 per barel sebelum akhirnya rebound ke level USD 50,75 per barel. Bagaimana dampaknya ke Indonesia? Menurut Erie, anjloknya harga minyak ibarat buah simalakama bagi Indonesia. Dari sisi Indonesia sebagai net importer, turunnya harga minyak memang menjadi berkah. Namun karena Indonesia juga mengekspor minyak, maka turunnya harga minyak bisa berakibat merosotnya penerimaan negara dari sektor migas. “Turunnya hasil ekspor berpengaruh pada devisa dan akhirnya mempengaruhi nilai tukar rupiah,” ucapnya. Nilai tukar rupiah inilah yang menurut Erie menjadi faktor penting penentu harga bahan bakar minyak (BBM) di tanah air. Mantan direktur Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) yang kini menjadi praktisi sektor migas itu mengakui, turunnya harga minyak memang membuat harga dasar BBM turun. “Tapi karena sebagian besar BBM kita berasal dari impor, maka depresiasi rupiah membuat biaya impor kian mahal,” ujarnya. Lantas, bagaimana dengan harga premium yang saat ini Rp7.300 per liter (penugasan luar Jawa, Madura, Bali, tanpa subsidi) dan harga solar Rp 6.900 per liter (dengan subsidi Rp 1.000 per liter)? “Jika harga minyak di bawah USD 50 per barel dan rupiah tetap di kisaran Rp13.300, harga BBM mestinya turun,” katanya. Namun, Erie menilai jika besaran penurunannya perlu dikaji matang. Sebab, jika pemerintah ingin meman­faatkan momentum penurunan harga minyak saat ini, harga BBM memang perlu diturunkan, tetapi difokuskan untuk sektor produktif, seperti angkutan barang dengan kereta api maupun kapal laut. “Dengan begitu, dampaknya ke perekonomian akan lebih besar,” ucapnya. Sementara itu, mantan Sekretaris Jenderal Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) Maizar Rahman mengatakan, semua pihak harus mewaspadai potensi fluktuasi harga minyak dunia yang sekarang tengah terjun bebas. “Anjloknya harga minyak saat ini hanya akan bertahan sementara,” ujarnya. Menurut profesor migas yang juga pernah menjadi gubernur OPEC untuk Indonesia pada 2004-2008 tersebut, peta pergerakan harga minyak dunia kini memang kian kompleks seiring tumbuhnya industri baru shale oil maupun munculnya Rusia sebagai produsen besar minyak dunia. Namun, peran OPEC yang menyuplai hampir separo kebutuhan minyak dunia tetap dominan. Apalagi, jika Iran benar-benar kembali melaku­kan ekspor dan mengge­rojok pasar minyak global. “Kondisi di pasar memang oversupply (kelebihan pasokan),” katanya. Meski demikian, lanjut Maizar, harga di kisaran USD 50 per barel ini sudah berada di bawah harga keekonomian shale oil maupun renewable energy lainnya. Karena itu, banyak proyek pengembangan shale oil yang kini dihentikan. Sehingga, ke depan, supply minyak dunia dari shale oil akan turun. “Kalau supply sudah turun, harga pasti naik,” ucapnya. Harga minyak juga berpotensi merangkak naik di 2016. Seiring membaiknya perekonomian dunia, permintaan minyak akan kembali naik, sehingga harga minyak diperkirakan bergerak ke kisaran USD 75 - 80 per barel. “Konsekuensinya bagi Indonesia, harga BBM yang dipatok berdasar harga pasar bisa naik lagi lebih tinggi, apalagi jika rupiah kembali melemah,” katanya. (owi)

Tags :
Kategori :

Terkait